11/07/2014

TANTANGAN DALAM HIDUP MEMBIARA

TANTANGAN DALAM HIDUP MEMBIARA

A.    Pengantar
Ada banyak tantangan yang dialami dalam hidup membiara. Dalam “kemapanannya” hidup membiara ternyata memiliki banyak kesulitan. Dari dunia luar mereka tampak bersaudara dan mencerminkan sebuah keharmonisan tetapi di dalam dunianya sendiri terdapat banyak persoalan yang dialami dan yang mengintip untuk ditampakkan. Tentu ada faktor penyebabnya. Dapat dipastikan faktor itu ialah faktor internal dan faktor eksternal. Sebenarnya ada begitu banyak faktor internal dan eksternal kalau mau disingkapkan semua. Tetapi dalam tulisan ini faktor-faktor tersebut akan dijelaskan sebagian saja. Kiranya faktor-faktor yang sebagian itu dapat mewakili yang lainnya.

B.     Tantangan dari Dalam (Intern)
1.      Sehubungan dengan ketaatan
Ketaatan dalam hidup membiara memang merupakan hal yang pelik. Hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan. Dalam hidup berkomunitas mungkin kaul ketaatan adalah tantangan terbesar daripada kedua kaul yang lain. Penulis berani mengatakan demikian berdasarkan banyak fakta yang kita dengar atau lihat sendiri. Tetapi ini bergantung pada tiap-tiap pribadi bagaimana sikapnya terhadap kaul ketaatan tersebut: mensyukuri atau sulit mensyukuri.
Ketaatan menjadi sebuah tantangan ketika seorang religius memang sulit mensyukurinya. Ia merasa tertekan dengan beban yang mengikat sebab ia tidak bisa bertindak sesukanya. Ini kerap menyakitkannya sebab hampir segalanya harus minta izin kepada piko (pimpinan komunitas). Di sini iaharus menuruti kehendak piko-nya. Ia merasa terjajah meskipun pandangan dari piko-nya benar. Ia semakin terjajah ketika harus taat pada anggota komunitas yang dituakan (dekan). Apalagi orangnya lebih muda dan tidak suka atau tidak akrab dengannya. Terlebih kalau ia juga memiliki kedudukan penting di komunitas. Kalau tidak ada kerendahan hati, seorang religius akan jatuh pada egoisme. Maka dapat disimpulkan bahwa ketaatannya bukan kepada kehendak Allah.
Tantangan seperti ini sebenarnya muncul karena dirinya sendiri. Ia tidak mempertimbangkan dengan matang konsekuensi kaul ketaatan yang ia ikrarkan kepada Tuhan, tarekatnya, dan kehidupan berkomunitas yang ia jalani. Ketaatan menjadi sulit juga karena ia tidak berakar pada proses ketaatan Yesus dan Maria yang menjadi titik tolak dari ketaatan religius.
Hal lain yang menjadikan ketaatan itu menjadi persoalan ialah berhubungan dengan kepemimpinan pemimpin komunitas. Pemimpin komunitas kerap memaksakan kehendaknya untuk ditaati oleh anggotanya apakah itu benar atau salah, bukannya taat kepada kehendak Tuhan. Pemimpin hanya menjadi otoriter dan asal menyuruh. Inilah yang kerap membuat anggota kecewa dan kurang dihargai. Harus diakui bahwa proses ketaatan seperti itu tidak berjalan menurut proses di alam demokrasi sekarang.
Para pemimpin komunitas hendaknya belajar dari ketaatan Yesus dan Maria.Di sana ada dialog antara Tuhan dan manusia, ada penjelasan, dan ada keputusan. Di sini jelas bahwa proses ketaatan mengandaikan dialog antara pemimpin dan anggota (Suparno, 2007:169-172). Maka melihat dua perbedaan di atas seorang religius harus berani mengambil keputusan bahwa kita taat bukan kepada kehendak pemimpin komunitas melainkan kepada regula dan konstitusi di mana Allah menyatakan kehendak-Nya. Taat kepada pimpinan komunitas sejauh kehendaknya sehaluan apa yang digariskan oleh regula dan konstitusi tarekat (Ridick, 1987:179).

2.      Aneka perbedaan
Komunitas dalam hidup membiara pertama-tama adalah kelompok manusia. Namun mereka adalah kelompok manusia yang mengkhususkan diri pada tujuan mulia, yakni menjadi pelayan Tuhansecara khusus, yang memiliki misi mengantar manusia pada Allah. Hidup mereka adalah hidup yang penuh cinta kasih dan persaudaraan (bdk. Kis.4:32), yang mendasarkan model hidupnya pada hidup Yesus dan para murid (bdk. Yoh. 13:34-35). Bahkan ada yang mengatakan bahwa hidup membiara merupakan gambaran hidup para malaikat di surga (nilai esktatologis).
Terlepas dari pengertian singkat mengenai hidup membiara di atas, mereka bukanlahmanusia super. Mereka sama dengan yang lainnya, yakni sebagai manusia yang memiliki kelemahan (unsur duniawi). Sebagai manusia yang lemah mereka tetap memiliki persoalan dan tantangan dalam hidup membiara.
Dalam hidup membiara ada banyak anggota yang terpanggil dari berbagai daerah. setiap daerah tentu melahirkan manusia dengan kekhasannya masing-masing. Di sinilah tantangan itu kerap ditemukan dan dialami dalam hidup membiara ketika semuanya membaur menjadi satu. Adapun kekhasan (perbedaan) yang kerap menjadi persoalan ialah watak dan kepribadian seorang religius, latar belakang keluarganya dan status sosial, kebudayaan dan riwayat hidupnya, bahkan intelektualitas. Namun semua perbedaan itu disatukan dalam proses pembinaan sehingga secara pelan tetapi pasti menjadi “harta” yang melimpah bagi hidup membiara karena hidup mereka diperkaya dan dilengkapi oleh satu sama lain.

3.      Komunitas dalam komunitas
Persoalan lain yang hadir dalam hidup berkomunitas ialah menyangkut pergaulan antar anggotanya. Walaupun hidup membiara sudah dianugerahi “harta yang berharga”, yang diperoleh dari tiap-tiap anggotanya, tetap saja kekayaannya melahirkan sebuah persoalan baru, yakni komunitas dalam komunitas. Artinya, dalam sebuah komunitas biara terdapat perkumpulan orang atau anggotanya yang tidak hanya kerap didominasi oleh satu daerah tetapi juga dari berbagai daerah yang memiliki kecocokan satu sama lain. Di sini akan terjadi politik balas budi dan saling ketergantungan antar anggotanya.
Komunitas ini dikategorikan bernada negatif karena kerap memunculkan masalah. Kepedulian terhadap anggota lain yang tidak termasuk perkumpulan mereka kerap diabaikan. Jika terjadi perselisihan, entah kecil atau besar, dengan anggota yang di luar kelompok mereka, walaupun mereka salah, akan tetap mendapat dukungan dari kelompoknya (akibat sikap saling ketergantungan dan politik balas budi). Sedangkan seorang anggota yang benar tadi tidak mendapat dukungan. Akibatnya ia merasa kecewa dan mulailah saling membangun tembok dalam sebuah komunitas. Akhirnya keretakan dalam komunitas pun terjadi dan komunitas pun menjadi sakit (bdk. 1Kor.12 :14-27). Padahal, tujuan terdalam hidup berkomunitas ialah tumbuh dalam cinta, yakni cinta kepada diri sendiri, kepada Allah dan kepada sesama (KOPTARI, 2008 : 27).

4.      Individualis
Masalah berikut ini ada kemungkinan salah satu akar terjadinya dari komunitas yang sakit. Ketika keretakan mulai terjadi dalam komunitas, seorang religius mulai menghindar, menarik diri dari yang lain, karena merasa dikecewakan, marah atau sakit hati.Akibatnya orang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa peduli dengan yang lainnya (egoisme)(Ridick, 1987: 207). Di sisi lain ada kemungkinan seorang religius terperangkap dalam permusuhan sehingga ia menjadi pribadi yang berjiwa musuh (murung tak menentu, minder, terus merasa khawatir, merasa lebih “super” dan serba mengeluh) (Agudo, 1988 : 152-154).

C.    Tantangan dari Luar (Ekstern)
Dulu mungkin tantangan religius dari luar tidak begitu kentara karena waktu mereka banyak dihabiskan di dalam biara. Sekarang zaman berubah dan tantangan begitu hebat menghantam dan mengejar. Apalagi sekarang kita hidup di abad dunia modern yang penuh dengan sekularisme, hedonisme dan konsumerisme. Hampir di seluruh dunia manusia terjebak di dalamnya, tak terkecuali para religius. Ditambah lagi dengan hadirnya internet yang menyediakan berbagai informasi:dari yang terjadi pada masa lampau sampai yang up to date, dari yang bermoral sampai amoral, dan seterusnya. Kehadiranfacebook, twitter, dan media komunikasi lainnya juga membuka kesempatan untuk mencari Maria atau Yesus yang lain dan darinya berkesempatan juga memupuk kekayaan sendiri.Efek dari perkembangan teknologi dapat menjadi tantangan bagi ketiga kaul religius (kemurnian kemiskinan, dan ketaatan)saat ini dan di masa mendatang (bdk. KWI, 1996 : 134-135).

D.    Kesimpulan
benarbahwa hidup membiara itu hidup dalam persaudaraan cinta kasih. Tidak salah jika orang mengalamatkannya sebagai gambaran kehidupan di surga (nilai eskatologis). Itu memang idealnya dan bahkan merupakan cita-cita yang harus diwujudkan (absolut). Tetapi itu tidak mudah. Untuk mencapai bentuk kehidupan seperti itu butuh proses yang berkesinambungan. Hidup membiara perlu dibangun tahap demi tahap,sebab hidup membiara penuh dengan pergulatan yang terus berlangsung (banyak tantangannya).karena itu tidak salah kalau dikatakan bahwa hidup membiara itu hidup penuh dengan konflik (positif). Namun konflik yang terjadi harus disadarisebagai tahap atau proses menuju cita-cita hidup membiara.Di sini segala sisi kegelapan hidup yang tersembunyi di hati kita menjadi nyata kelihatan. Ketika mengalami kehilangan, konflik, dan “kematian” di sini juga kebangkitan itu dialami. Singkatnya, sisi kehidupan seorang religius yang gelap diubah menjadi terang dan diarahkan pada kehidupan yang penuh cinta kasih (Nouwen dkk., 1998: 18-20). Tetapi proses ini akan terwujud jika setiap anggota saling mendengarkan, terbuka, mampu menerima dirinya, mau meninggalkan manusia lamanya, saling membangun dan saling menghargai tiap pribadi. Sikap ini harus dipertahankan terus menerus. Dengan demikian hidup persaudaraan dalam cinta kasih dengan sendirinya akan terwujud.



daftar pustaka

Agundo, Philomena. Aku Memilih Engkau. Yogyakarta: Kanisius,1988.
KOPTARI. Membangun Komunitas Persaudaraan.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
KWI. Vita Consecrata. Terj. R. Hardawirjana, S.J. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996.
Nouwen, Henri J.M. dan Jean Vanier. Komunitas alternatif: Hidup Bersama Menebarkan Kasih. Ed. Mgr. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Suparno, Paul. Saat jubah bikin gerah. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

SALIB : MUKJIZAT ATAU KUTUKAN ?



Salib : mukjizat atau kutukan ?
( sebuah refleksi )

oleh: elias jeksen

D
alam perkembangan waktu, kita dapat melihat bahwa banyak orang yang mengikuti Kristus. Ini adalah kebanggaan bagi Gereja karena orang semakin menyadari bahwa keselamatan jiwa begitu hakiki. Meskipun demikian ada persoalan yang harus kita renungkan bersama, yakni banyak orang yang mengikuti kristus tetapi sedikit yang mau memikul salib. Persoalan itu lantas membuat kita bertanya mengapa orang menghindari Salib? Apakah salib dipandang sebagai kutukan, seperti yang dikatakan berbagai kelompok yang anti Kristus? Lalu, bukankah kita juga yakin bahwa salib adalah sebuah mukjizat yang dapat mengubah hidup ? dalam renungan kali ini saya akan mencoba menjelaskan makna salib baik sebagai kutukan maupun sebagai mukjizat serta ajaran Bapa Pendiri, santo Paulus dari Salib.

Makna salib
a.      Salib sebagai kutukan ?
Mengapa salib disebut sebagai kutukan? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat secara sekilas latar belakangnya. Salib merupakan alat hukuman mati yang ngeri dan memalukan. Hukuman salib sendiri sebenarnya berasal dari negeri Persia, kemudian diambil alih oleh bangsa Yunani dan sejak perang dengan kartago, orang Romawi pun menggunakan hukuman salib sebagai hukuman yang paling kejam yang diperuntukkan bagi para budak dan orang-orang asing ( terutama penjajah ) yang memberontak. Karena begitu kejam dan mengerikan hukuman ini, tidak mengheran kalau Cicero, seorang sastrawan roma mengatakan bahwa kata “salib” harus dijauhkan dari tubuh, pikiran, mata dan bahkan sampai dengan telinga warga Romawi. Hukuman salib merupakan hukuman bagi orang yang terkutuk.
Konon, hukum yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghojat, dan pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk oleh Allah. Dan agar tidak menajiskan, maka mayat mereka segera dikuburkan ( Ul 21:23; bdk. gal 3:13 ). Jika demikian ini berarti bahwa Yesus yang digantung di kayu salib adalah orang  yang terkutuk. Mungkin penjelasan ini dapat membantu kita memahami salib sebagai kutukan dan mungkin pandangan ini juga merupakan salah satu referensi yang digunakan oleh kelompok anti kristus untuk menyerang agama Kristen. Baiklah kita meninggalkan polemik ini karena bagaimana pun kebenaran misteri salib dalam pandangan kristiani tidak akan pernah mereka terima.
Arti salib sebagai kutukan dalam pengertian sekarang bukanlah soal kematian yang mengerikan dan bukan juga soal kematian dan pertumbuhan hidup seseorang yang tidak wajar melainkan soal kedangkalan seseorang akan pemaknaan hidupnya. Kedangkalan ini memaksudkan sebuah perjalanan hidup di mana  manusia tidak mampu lagi menerima dan menghargai hidup yang ia jalani sebagai anugerah dari Tuhan. Khususnya ketika ia berada dalam kehancuran, terluka, putus asa, kecewa berat dan sejenisnya. Pemaknaan akan kehadiran Tuhan sebagai penolong pun menjadi terlupakan dan terkubur dalam pemikirannya. Ketenangan batin tidak lagi ia rasakan karena pertolongan Tuhan sendiri tidak pernah ia rasakan juga.
Kedangkalan akan pemaknaan hidup yang demikian membawa seseorang menyerah pada apa yang kita sebut sebagai penderitaan. Pengaruh posisi seperti itu secara pelan-pelan tapi pasti membuat orang tidak mampu lagi memaknai, menerima, dan sadar  bahwa penderitaan merupakan  salah satu unsur hakiki dari perjalanan hidup manusia. Orang akan mengakui dan memvonis penderitaan hidup sebagai kutukan. Hal ini kita dapat memakluminya karena mungkin dalam perjalanan hidupnya hanya dipenuhi dengan penderitaan. Kehadiran penderitaan dalam hidupnya yang terus menerus akan membawanya juga pada pengertian bahwa ini adalah sebuah nasib, suatu  garis hidup yang sudah ditentukan dari semula ( takdir ). Kita pun akan mengalami dan memvonis hal serupa seandainya kita tidak mampu menyatukan segala bentuk penderitaan kita masing-masing dengan penderitaan Kristus dan berjuang untuk bangkit darinya.

b.      Salib sebagai mukjizat.
Pandangan lain mengenai salib adalah dari kekristenan. Salib, bagi kita, sebagai seorang kristiani bukanlah sebuah kutukan melainkan sebuah kekuatan hidup untuk mengalahkan segala bentuk kejahatan dan bahkan sebagai mukjizat yang dapat mengubah situasi kehidupan kita yang galau dan sekaligus memampukan kita bangkit dari keterpurukan dan kehancuran hidup. Ini dapat terjadi kalau bertitik tolak pada permaknaan kita terhadap salib yang merupakan bagian dari karya  dan tanda penyelamatan Allah. Kita percaya bahwa melalui permenungan atas misteri salib pasti ada kekuatan yang mengalir darinya. Suatu kekuatan yang penuh misteri karena memampukan kita menjalani hidup ini, menerima dan mensyukurinya. Sekali lagi tentu kekuatan ini diperoleh dari pemaknaan akan salib.
            Kristus telah menjadikan salib yang awalnya dimaknai sebagai kutukan menjadi berkat, lambang kemenangan, dan bagian dari karya penyelamatan. Perjalanan sengsara-Nya dari Getsemani sampai pada Salib merupakan inspirasi bagi kehidupan kita, umat Allah, dalam menjalani kehidupan beserta tantangan-tantangannya, terutama bagi mereka yang hidup dalam kesengsaraan, kemiskinan, putus asa, pengejaran dan penganiayaan, cacat seumur hidup, dan sejenisnya. Perhargaan atas salib juga memampukan orang untuk mempunyai harapan kembali ketika kehancuran hidup membelenggunya. Salib baginya adalah kekuatan dan jalan keluar yang mengubah hidup menjadi lebih berarti.
            Persoalan hidup akan terus datang tanpa henti. Bagaikan sungai yang terus mengalir. Dan sampai mati pun kita tidak bisa menghindarinya karena persoalan hidup merupakan bagian dari hakikat kehidupan manusia. Kehadiran persoalan hidup membuat kehidupan yang kita jalani ini menjadi berat dan kadang menyengsarakan karena melibatkan tubuh, pikiran, perasaan, dan batin kita. Namun semuanya itu akan menjadi ringan ketika kita dapat memaknai salib yang dari padanya Kristus disalibkan. Belajar dari Yesus yang bersengsara sangat penting karena kesengsaraan-Nya adalah segala-galanya untuk mengalahkan segala bentuk penderitaan hidup. Dialah jawaban terhadap kesia-siaan hidup, kebutuhan kita, kesepian, penyakit dan kematian, dan keegoisan manusia. Dengan demikian pemaknaan kita akan salib semakin mendalam karena salib dimaknai sebagai kekuatan dan ketabahan, pengingat adanya hidup kekal, dan pengingat penyertaan Yesus.

salib dalam ajaran santo Paulus dari salib
santo Paulus dari Salib mengajak kita para Pasionis untuk tidak menghindari salib. Salib baginya merupakan bagian dari spiritualitas kita, Pasionis. Yesus dapat menyelesaikan misi-Nya di bumi karena salib. Tanpa salib mustahil ada karya penyelamatan. Untuk itu kita harus memikul salib sebagai syarat menjadi pengikut-Nya. Adapun alasan dari tujuan mengapa kita harus memikul salib ialah untuk menyerupai Yesus, untuk menjadi suci, untuk berbahagia dalam ketenangan dan kedamaian, untuk memuluskan jalan masuk surga, dan untuk menyadari bahwa salib akan selalu ada dan tidak pernah berkurang. Untuk memperoleh tujuan itu kita dituntut memikul salib secara diam dan berharap, penuh kesabaran dan damai, cinta kasih dan kegembiraan. Dengan demikian kita akan menemukan dan merasakan bahwa pada salib terdapat  rahasia keutamaan-keutamaan Kristus.
          Pemaknaan salib dalam diri Santo Paulus dari salib tidak hanya pada penjelasan salib di atas. Salib dimengerti sebagai kompleksitas penderitaan. Artinya salib itu mempunyai banyak rupa. Paulus dari Salib sendiri membaginya menjadi tiga rupa salib, yaitu salib berupa penyakit-penyakit badan, salib berupa penderitaan-penderitaan buatan manusia, dan salib berupa penderitaan-penderitaan rohani. Ketiga rupa salib ini memiliki pemaknaan yang berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama, yakni solider dengan penderitaan Yesus sekaligus menyerupai-Nya. Untuk lebih jelasnya baca buku “Vox Patris’’.

 penutup
Kita harus sadar bahwa spiritualitas kita kongregasi Pasionis sangatlah aktual dari masa ke masa karena spiritualitas kita merupakan pusat pewartaan iman Gereja. Ini adalah sebuah kebanggaan bagi kita yang mengikuti Tuhan dalam kongregasi ini. Namun kebanggaan ini janganlah sebatas kebanggaan saja sebab seandainya demikian  makna  dan perannya bagi karya keselamatan akan menjadi sia-sia. Spiritualitas kita ini akan kehilangan nilai dan faedahnya karena telah di kurung dalam sangkar kebanggaan itu sendiri. Penghayatannya dalam keseharian pun akan menjadi dangkal.
          Jadi,  tugas kita sekarang sebagai calon pasionis maupun Pasionis itu sendiri ialah bagaimana kita dapat memberdayagunakan spiritualitas pasionis supaya dapat menjadi pegangan hidup bagi umat Kristiani di tengah kemapanan hidup, budaya instan, hedonisme, konsumerisme, dan bahkan kehidupan yang penuh penderitaan itu sendiri. 
          Dalam menjalankan karya misi kita harus menyadari juga bahwa kita janganlah puas hanya mengajak umat untuk merenungkan misteri hidup, sengsara, dan wafat Yesus Kristus. Tetapi cara melakukannya hendaklah diajarkan juga kepada mereka agar mereka semakin mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Dengan mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, setiap orang menjadi serupa dengan-Nya dalam kematian-Nya , sehingga akan memperoleh kemuliaan yang sama. Dengan demikian spiritualitas pasionis dapat menjadi sebuah kesadaran akan kehadiran mukjizat salib dalam kehidupan umat Kristiani dari masa ke masa.
          Semoga sengsara Yesus selalu berada dalam hati kita untuk memberdayagunakan spiritualitas pasionis dalam karya misi kita, yakni menumbuhkembangkan di dalam hati semua orang kebaktian yang benar kepada Yesus, Hidup Sejati kita yang bernyala-nyala dalam cinta sehingga rela bersengsara di dalam dunia yang terus baru.

MEM-FACEBOOK-KAN ALLAH ( mewartakan kebaikan dan nilai Allah )

Mem-facebook-kan  Allah
( mewartakan kebaikan dan nilai Allah )
Oleh : Elias Jeksen
                                                                                                
Pengantar

K
ehadiran internet di tengah dunia modern sekarang memudahkan umat manusia terhadap banyak hal. Salah satunya ialah orang dapat dengan mudah mengetahui berbagai informasi di seluruh belahan dunia. Berkat kehadirannya orang menjadi dapat belajar banyak hal dan bahkan menjadi seorang berpengetahuan luas. Selain berbagai informasi yang di dapat, internet juga menjadi media komunikasi yang sangat menarik dewasa ini. Berbagai macam model media komunikasi itu, antara lain facebook, yahoo massanger, badoo, hi5, twitter, dan lain-lain. Di antaranya itu facebook paling banyak digunakan di seluruh dunia. Karena itu  facebook menjadi fokus utama dalam tulisan ini.
Di era modern ini internet dapat menjadi jalan baru untuk mewartakan kerajaan Allah. Paus Benediktus XVI menegaskan juga jalan baru ini. Baginya Allah memiliki keluasan tempat dalam dunia manusia, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Karena itu sabda Allah dapat diwartakan dalam bentuk apapun dalam dunia manusia. Itu sebabnya menggunakan teknologi komunikasi baru merupakan hal sangat penting di zaman modern sekarang. Penggunaannya tentu secara bijaksana dalam iman, untuk menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang mengakibatkan pergeseran budaya, yang dirasakan oleh umat, khususnya kaum muda.[1]
Tulisan ini ingin mengajak pembaca merefleksikan bersama dampak  positive dari penggunaan facebook, yakni facebook sebagai salah satu sarana mewartakan kerajaan Allah.

Mem-facebook-kan  Allah
Mem-facebook-kan Allah berarti Allah hadir dalam facebook. Maksudnya di sini ialah mewartakan atau menghadirkan Allah. Dengan fungsi yang demikian, kita dapat melihat  facebook bukan sekedar sebagai media komunikasi tetapi dapat  menjadi wadah untuk mewartakan kerajaan Allah. Ini dapat dijadikan sebagai karya pastoral pribadi kita sebagai umat kristiani. Dalam arti ini kewajiban kita sebagai anak-anak Allah dapat kita laksanakan dengan jalan baru ini. Namun harus disadari bahwa mewartakan Allah dalam facebook bukan melulu menulis ayat-ayat kitab suci maupun kata “Allah” melainkan dengan cara-cara tertentu yang menampakkan nilai-nilai kebaikan bagi facebooker. Tentu kita sudah melihat kemungkinan ini dan melaksanakannya. Maka dari itu melalui facebook kita dapat mewartakan Allah kepada dunia maya (istilah kerennya : dumay) dengan beberapa cara.

1.      Lewat  up date status
Kita pasti sering meng-up date status di facebook. Tentu beraneka macam bentuknya entah itu kata-kata bijak, mutiara, romantic, motivasi, ayat-ayat kitab suci, harapan,  yang melukis persoalan pribadi dan macam-macam lagi. Ruang ini sebenarnya sangat bagus untuk dijadikan arena pewartaan karena dapat dibaca oleh para facebooker yang berteman dengan kita. ketika orang-orang nge-like up date status kita, itu tandanya ada makna yang mendalam dan mereka mendapatkan sesuatu apa yang kita tulis di sana. Maka, dengan tindakan itu mereka menyetujui apa yang kita tulis. Dengan menyetujui apa yang kita tulis itu  berarti mereka secara tidak langsung menerima nilai-nilai dan kebaikan Allah yang terwujud dalam aneka bentuk kata dan kalimat karena  mampu menyentuh perasaan  dan memotivasi hidup mereka.

2.     Lewat komentar
Kita tentu sering menjumpai dan  membaca up date status dari teman-teman di facebook. Ada banyak bentuknya. Tetapi yang menarik ialah ketika mereka meng-up date persoalan hidup mereka. Membaca persoalan mereka, entah orangnya kita kenal atau tidak, menjadi kesempatan bagi kita untuk memberikan solusi dan motivasi. Dengan tindakan itu kita secara tidak langsung mewartakan kebaikan Allah di dalamnya. Dengan tindakan itu juga kita hendak bersolider dengan penderitaan orang lain. Jika orang yang bersangkutan nge-like “pewartaaan” kita, itu tandanya ia menyetujui dan menerima apa yang kita sumbangkan.
Kita harus menyadari bahwa  orang yang meng-up date-kan persoalan hidupnya di dunia maya, seperti di facebook misalnya, sebenarnya hendak meminta solusi, pendapat, dan nasihat dari banyak orang agar ia mendapat pencerahan untuk dapat menyelesaikan dan mengurangi persoalan hidupnya. Hal ini terkadang orang lakukan karena ia sudah bingung harus berbuat apa. Karena itu ada kemungkinan ini bahwa ia terpaksa melemparkan persoalan hidupnya ke dunia maya. Namun sayangnya terkadang banyak orang yang berkomentar dengan nada mengejek. Ini kebiasaan yang tidak baik dan kiranya hal ini juga tidak perlu dilakukan sebab tindakan yang demikian secara tidak langsung dapat menambah persoalannya. Maka, hendaknya kita selalu menyumbangkan jalan penyelesaian atau solusi yang berguna kepada yang bersangkutan.

3.     Lewat pesan (inbox)
Kerap kali kita menerima inbox dari facebooker yang berteman dengan kita berupa keluhan atau persoalan pribadi. Dari keluhan atau persoalan pribadi yang mereka alami ujung-ujung arahnya pada  permintaan solusi, baik dalam bentuk saran maupun nasihat.  Kerap persoalannya rumit dan terkadang membuat kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan jawaban yang kiranya memuaskan dan dapat diterima. Tetapi kita mungkin pernah mengalami ini bahwa  kerap juga-bahkan mungkin selalu-jawaban kita mereka terima dengan senang hati dan berhasil membantu kesulitan mereka. Hal ini harus kita sadari bahwa Allah kerap menjadikan kita sebagai pengantara rahmat-Nya untuk menyatakan kebaikan dan kasih-Nya kepada umat manusia. Kita patut bersyukur atas karya Allah yang demikian.

4.    Lewat group bersama
Pewartaan Kerajaan Allah tidak hanya lewat tiga hal di atas tetapi  berlanjut juga dalam group bersama. Kita tentu sudah bergabung dengan salah satu banyak group yang ada di dunia facebook. Di wadah ini pun adalah kesempatan bagi kita untuk berbagi nilai kerajaan Allah. Pewartaan akan tampak konsisten apabila group di mana kita bergabung merupakan group bercorak kristiani, misalnya Aku Cinta Yesus. Namun mesti diingat bahwa panggilan kita sebagai kristiani bukan hanya untuk golongan kita sendiri atau agama kita sendiri tetapi untuk semua orang dan semua agama. Maka, untuk berbagi kebaikan dan nilai-nilai  Allah, perlu juga kita bergabung dengan group-group dari agama lain dan bahkan group-group “nakal”. Dengan demikian Allah semakin mudah berkarya di dunia dan akhirnya membawa orang  berjalan menuju dekapan kasih Allah.

Penutup
Kehidupan kita di zaman modern sangat terbantu dengan kehadiran internet. Kita dibuatnya menjadi berwawasan luas dan mudah berkomunikasi dengan semua orang. Tetapi internet juga menyediakan peluang yang besar bagi pewartaan “Injil”. Dalam dunia facebook kita dapat melihat pergeseran moral lewat kata-kata, komentar, dan nge-like hal yang tidak baik. Dalam dunia facebook kita juga dapat melihat manusia mengalami banyak persoalan dalam hidupnya. Kehadiran Allah sangat mendesak bagi mereka yang demikian. Kita sebagai pengantara kecil kasih Allah dapat berperan menghadirkan-Nya dalam hidup mereka lewat up date status, komentar, inbox dan group bersama. Dalam hal ini kita ikut berpartisipasi pada GS art. 1. Kecemasan, pergumulan, kedukaan dunia adalah kecemasan, pergumulan, dan kedukaan kita. Inilah panggilan kita sebagai pengikut Kristus. Inilah tanggung jawab kita. Internet, khususnya dunia facebook haruslah dipandang sebagai ladang yang subur untuk menabur dan menumbuhkan benih kasih Allah dalam hidup manusia.



[1] Errol Jonathans, Era Multimedia : Sebuah “Kosmologi” Baru, dalam Seri Filsafat Teologi Widya Sasana no.19 : Iman dan Pewartaan di Era Multimedia, STFT Widya Sasana : Malang, 2010, hlm.2

RSBI TERKESAN DISKRIMINASI ?

RSBI terkesan diskriminasi ?
( oleh : j-sen*90 )

k
ehadiran RSBI pada awalnya disambut baik oleh sebagian besar masyarakat kita. Dengan konsep yang disosialisasikan yang berdasarkan pada pasal 50 ayat 3 UU no.20 tahun 2003, masyarakat diyakinkan bahwa pemerintah ingin membuka jalan baru bagi dunia pendidikan Indonesia yang lebih berkualitas untuk ke depannya. Begitulah yang terjadi pada awal berdirinya sekolah ini. sekolah-sekolah reguler yang memenuhi syarat untuk diubah statusnya menjadi RSBI menyambut dengan antusias sekali karena dengan status yang demikian sekolah mereka bisa go International. Dengan demikian kehadiran sekolah-sekolah berstatus RSBI seolah-olah menjadi pembawa harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia yang saat ini sedang mengalami “kegalauan”.
Semua masyarakat dapat merasakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Kualitas dan penyediaan sarana dan prasarana bila disesuaikan dengan syarat-syarat sekolah internasional masih banyak di bawah standar. Ditambah lagi dengan proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri yang uring-uringan dan tidak sungguh-sungguh. Kita dapat melihat sistem pendidikan dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain-lain, begitu tertata dan berjalan dengan sangat baik. Pemerintah negara setempat begitu memperhatikan dunia pendidikannya karena mereka sudah sampai pada kesadaran bahwa sekolah-sekolah dan para siswanya merupakan harta yang paling berharga dan masa depan bangsa.
Di Indonesia kesadaran itu masih mengambang. Dalam arti bahwa pemerintah sudah menyadari semuanya itu hanya tingkat perhatian yang mereka berikan masih belum mengena dan maksimal terutama pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri, yang tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Apa yang mereka rencana sungguh amat baik hanya terhambat pada perhatian, pelaksanaan, dan pertimbangan-pertimbangan. Yang terakhir kerap tidak dikritisi dengan sungguh-sungguh. Lihat apa yang terjadi selama ini. pergantian kurikulum dan penghilangan dan penambahan mata pelajaran adalah salah satu contohnya. Seolah-olah setiap perubahan yang diberlakukan dengan segera membawa perubahan yang signifikan. Sementara itu juga, perjalanan dunia pendidikan bangsa kita tidak memiliki sistem yang jelas. Mana ideologi yang harus diikuti. Padahal unsur yang terpenting dalam memajukan pendidikan sebuah negara adalah adanya ideologi yang dianut. Tanpa itu dunia pendidikan sebuah negara tidak akan maju-maju. Inilah yang dikhawatirkan akan terjadi pada negara Indonesia sendiri.   
Kita bisa mengerti bahwa pada saat dunia pendidikan Indonesia jauh ketinggalan pemerintah mencanangkan agar menghadirkan sekolah-sekolah berbasis internasional. Tujuannya sangatlah jelas yakini supaya pendidikan Indonesia dapat bersaing di dunia internasional. Cara yang instan memang karena terdesak situasi. oleh karena itu sekolah-sekolah berstatus RSBI terpaksa dimunculkan.
Namun kemunculan sekolah-sekolah RSBI sebenarnya tidak harus ada karena belum tentu mengangkat pendidikan tanah air di mata dunia. Belum lagi masalah yang menjadi kekhawatiran para pengamat pendidikan, yakni adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Itu begitu terasa. Lihatlah apa yang terjadi di lapangan. Para siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah RSBI sebagian besar dari golongan keluarga yang secara ekonomi mampu. Sedangkan bagi para siswa yang berasal dari golongan keluarga miskin, yang secara ekonomi kurang mampu, tidak bisa merasakan pendidikan di sekolah RSBI yang dikatakan lebih berkualitas itu.
Bisa dikirakan berapa persen keluarga miskin yang mampu “menembus” sekolah RSBI. Mungkin hanya satu sampai lima persen. Itu pun pasti mereka yang sebagian besar mendapat beasiswa atau yang mendapat bantuan dari pihak sekolah atau orang terdekat. Tetapi pada umumnya keluarga-keluarga yang dari golongan tidak mampu secara ekonomi terpaksa tidak mendapat tempat di sekolah elit ini. Bisa dibayangkan SPP saja mencapai ratusan ribu rupiah. Belum lagi biaya yang lain, seperti DPP dan sarana-sarana sekolah yang lainnya. Seandainya para keluarga miskin menyekolahkan anaknya di sekolah ini, sampai kapankah mereka mampu bertahan membiaya sekolah anaknya sementara hasil jerih payah mereka kerap tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang mahal itu? Apakah mereka terus-menerus mengharapkan bantuan pemerintah? Tentu tidak, bukan? Lalu dalam hal ini siapa pihak yang salah? Tentunya banyak kalangan yang akan mempersalahkan pemerintah karena dianggap tidak memperjuangkan hak rakyat kecil atau pro rakyat.
Memang di satu sisi pemerintah bisa dipersalahkan karena mereka sendirilah yang melahirkan sekolah-sekolah RSBI. Mereka kurang mempertimbangkan dampak negatif yang terjadi dari kemunculan sekolah-sekolah ini. sebenarnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan tanah air kita sangat besar dan patut diacungi jempol. Tetapi sekali lagi mereka kurang kritis mempertimbangkan dampak negatif yang terjadi ke depannya. Belum lagi proses penyelenggaraannya yang kerap buruk. Sebagian besar tidak transparan dan kerap bermain uang. Padahal merekalah pihak utama yang menentukan maju atau tidaknya dunia pendidikan tanah air kita. Kiranya inilah salah satu hal yang bisa dipersalahkan terhadap kinerja mereka selama ini. tentunya kita berharap agar keburukan dan penyimpangan yang telah terjadi tidak berlangsung lama dan segera teratasi.
Di sisi lain sekolah itu pada dasarnya bersifat elitis. Jika kita kembali ke masa lampau terutama pada zaman Romawi, sekolah merupakan tempat kedua memperoleh pendidikan atau ilmu pengetahuan sesudah keluarga.  Dalam hal ini pendidikan pertama dan utama berlangsung dalam keluarga. Sehingga orang tualah yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya mengenai kearifan, ketertiban, pengetahuan, dan kebudayaan. Pendidikan model ini disebut sebagai pendidikan informal.  
Pendidikan formal atau sekolah baru dirasakan kebutuhannya ketika budaya semakin berkembang. Artinya bahwa dalam perjalanan waktu banyak hal baru yang muncul dalam kehidupan dan pendidikan informal yang diperoleh dalam keluarga tidak mampu lagi mencerna dan mengertinya. Kebudayaan-kebudayaan baru banyak berkembang dan akhirnya memunculkan pengetahuan yang baru pula. Oleh karena itu untuk mengetahui dan memahaminya diperlukan waktu dan kondisi yang memungkinkan dan sekolah menjadi tempat yang tepat sebagai solusinya.
Memang sekolah menjadi tempat yang pantas untuk itu. Menurut sejarah kelahirannya, sekolah merupakan kegiatan yang tidak terkait langsung dengan kehidupan. Istilah sekolah sendiri berasal dari kata Yunani, skole, yang berati waktu luang. Maksudnya ialah bersekolah saat itu berarti meluangkan waktu khusus di luar kesibukan sehari-hari untuk mempelajari kebudayaan yang semakin banyak yang tentunya tak bisa lagi dicerna bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari. Jelas tugas ini tidak bisa ditangani sendiri oleh sebuah keluarga. Fenomena itu terjadi sampai zaman sekarang. ilmu itu sendiri pun tidak datang dengan sendirinya kalau tidak ada yang mengajarkannya. Oleh karena itu sebuah keluarga perlu bantuan seseorang atau lembaga yang bisa menggantikan posisi mereka dan sekaligus menjadi orang tua kedua bagi anak-anak mereka. Maka dari itu lahirlah sekolah.
Dengan adanya kebutuhan itu sekolah menjadi semacam wadah untuk memahami bermacam fenomena baru yang muncul dalam kehidupan. Di sini ilmu pengetahuan oleh anak-anak pada umumnya dapat diperoleh dan dicerna secara intensif. Dengan demikian ilmu pengetahuan menjadi semacam bekal dan senjata dalam memahami fenomena-fenomena yang sedang terjadi saat ini dan yang akan datang. Dan memang benar kebutuhan itu menjadi hal yang mutlak sampai saat ini karena dengan hadirnya kebudayaan yang waktu ke waktu semakin berkembang seperti zaman sekarang ini memaksa kita, khususnya mereka yang hidup pada zaman Romawi, untuk memiliki banyak kepandaian dengan tingkat kerumitan yang tinggi yang tidak bisa dipelajari sambil lalu. tentu semua itu tidak gratis tetapi membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga pada waktu itu hanya keluarga-keluarga kaya yang mampu mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah. Inilah faktanya bahwa sekolah itu memang mahal dan elit.
situasi seperti itu hadir juga di situasi sekarang, salah satunya di Indonesia sendiri. Di satu sisi, UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang pendidikan menegaskan bahwa pendidikan di sekolah atau formal begitu penting dan harus didapatkan oleh semua anak di Indonesia selain pendidikan informal yang mereka terima dalam keluarganya masing-masing, sedangkan pemerintah berkewajiban membiayai dan mengadakan prasarana dan sarana pendidikan. Tetapi di sisi lain terjadi fenomena-fenomena yang bertolak belakang dengan isi undang-undang itu. Banyak anak yang masih tidak mendapat haknya. Kalau dilihat penyebabnya sebagian besar terbentur pada masalah ekonomi, sarana dan prasarana yang tidak ada, khususnya di daerah-daerah terpencil, dan program sekolah gratis yang tidak merata.
Terlepas dari masalah klasik itu, ada fenomena yang sebenarnya bisa dikatakan wajar, yakni hadirnya sekolah elit. Kalau seperti sekarang bisa dicontohkan dengan sekolah RSBI. Tentu kita tahu dengan baik bahwa sebagian besar sekolah-sekolah elit, memiliki kualitas pendidikan yang bermutu dan prasarana dan sarana yang lengkap. Oleh karena itu tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat mengenyam pendidikan di sekolah itu. Karena mahalnya hanya keluarga-keluarga yang mampu secara ekonomis saja yang dapat menyekolahkan anaknya di sekolah elit itu. Inilah yang terjadi di sekolah-sekolah reguler RSBI yang notabene dikelola oleh pemerintah, apalagi kalau sekolah itu adalah sekolah swasta, yang dikelola oleh badan swasta itu sendiri dan bukan oleh pemerintah. Semakin bagus kualitas sebuah sekolah maka semakin mahal pulalah biaya pendidikannya. Dan ternyata meskipun mahal banyak keluarga, entah itu dari keluarga yang mampu secara ekonomis maupun yang setengah mampu, masih berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit. Mahal tidak menjadi masalah tetapi kualitas dari sekolah itu yang penting karena dengan demikian pendidikan yang diperoleh anak-anaknya lebih baik, tidak sia-sia, dan menjamin masa depan si anak dan keluarga ke depannya. Di samping itu ada sebuah pembelajaran yang berarti bahwa ilmu itu memang mahal dan untuk mendapatkannya, di samping ketekunan juga butuh pengorbanan, salah satunya adalah dengan rela mengeluarkan banyak uang (bukan bermain uang). sekolah murah dan gratis belum menjamin kualitas sekolahnya bagus. Jadi, adalah wajar kalau sekolah berbasis RSBI mahal.

Keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh banyak masyarakat kita mengenai sekolah RSBI ada benarnya. Kehadiran sekolah-sekolah yang berbasis internasional kerap menjadi tempat tumbuhnya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Anak-anak dari golongan keluarga miskin lalu tidak bisa mencicipi pendidikan yang berkualitas di sekolah itu. Namun pantaskah mereka (sekolah-sekolah RSBI) dipersalahkan? Tentu tidak! yang patut dipersalahkan seharusnya adalah pemerintah. Jika pemerintah menginginkan pendidikan yang adil dan merata, maka pemerintah sendiri seharusnya memberlakukan sekolah gratis, mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Kita harus berani belajar dari negara-negara yang dunia pendidikannya sudah maju, seperti negara-negara di Eropa. Mereka sebagian besar menerapkan sistem ini sehingga tidak ada anak yang tidak bersekolah. Inilah bentuk keseriusan mereka terhadap dunia pendidikan. Pendidikan bagi mereka merupakan pilar utama untuk kemajuan negara. seandainya sistem  (sekolah gratis) ini diberlakukan di Indonesia sendiri hendaknya harus berlaku bagi semua sekolah, entah itu sekolah negeri maupun sekolah swasta. Karena bagaimana pun sekolah swasta juga menyumbang banyak hal bagi kemajuan pendidikan di tanah air kita ini. sehingga di Indonesia tidak ada lagi yang namanya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Maka, harapan Indonesia ke depan agar dunia pendidikannya maju dan berkualitas dapat terwujud. Namun semuanya itu harus disadari dengan kesungguhan dan rasa keprihatinan yang tinggi dari pemerintah, selaku pengatur sistem pendidikan di tanah air tercinta ini, dan juga dari kita semua sebagai warga bangsa Indonesia sendiri. 

LIYAN adalah AKU YANG LAIN

Liyan adalah aku yang lain
( sebuah Refleksi )

S
uatu kebenaran umum bahwa manusia berjiwa dan berakal budi. Ia adalah ciptaan Tuhan yang terbaik dan sempurna dari semua makhluk yang ada. Namun kerap dalam kehidupan ini sebagian besar orang belum mampu melihat arti di balik manusia. Pandangan terhadap siapa orang lain dan liyan masih dangkal. Terjadi banyaknya diskriminasi dalam segala aspek kehidupan adalah salah satu akibat dari ketidakmampuan ini. Oleh sebab itu dibutuhkan pengenalan akan”aku” aku dan liyan.

Siapa “aku” ?          
Jiwa dan raga dan akal budi adalah unsur hakiki dari manusia, kekodratan diri manusia dan ke-esensial-an manusia. Kebenaran itu mutlak dan tidak bisa digugat lagi karena ketiga syarat itu harus ada pada manusia. Sebab jika manusia memiliki jiwa dan raga saja tanpa berakal budi tidak bisa disebut manusia karena makhluk-makhluk yang lain pun memiliki kedua unsur tersebut. Mustahil juga jika manusia lahir tanpa jiwa raga dan akal budi. Seandainya ada pengakuan yang demikian, itu merupakan kesalahan absolut dan sebuah kemustahilan yang mutlak. Lalu, mengapa ada istilah “aku” pada manusia ? Apakah “aku” itu?
            Aku memang manusia tetapi  “aku” bukan sekedar manusia yang memiliki jiwa raga dan akal budi. “Aku” di sini memaksudkan sesuatu yang lain yang lebih dari ketiga unsur itu pada manusia. “Aku” menunjukkan keseluruhan manusia. Keseluruhan di sini mau menegaskan bahwa “ aku “ bukan sekedar berjiwa raga dan berakal budi, melainkan keutuhan dari diri manusia, keutuhan “aku”, keseluruhan tindakan aku,dan kesadaran akan keseluruhan pengalaman perjalanan hidup aku. Bagaimana keseluruhan manusia itu bisa dikatakan? Keseluruhan  manusia berawal dari kesadaran “aku”. Dari kesadaran “aku’’ ini manusia dibawa kepada permenungan yang mendalam tentang dirinya sampai ia menyadari ke-ada-anku, realitas pengada-ku, kesadaran tentang seluruh eksistensi keberadaanku dan pengalamanku secara menyeluruh. Ketika sadar, mengerti, dan paham akan semuanya itu “aku” menjadi sebuah pengetahuan yang  mengatasi segala kemampuan intelektual aku. “ Aku” menjadi sebuah pengetahuan yang menjadi pemecahan masalah pada diri manusia. “aku” lah yang pertama mengajak manusia itu melihat tujuan hidup manusia yang sebenarnya. Apakah tujuan “ aku” pada diri manusia?
            Socrates dalam pemikirannya mengusung bahwa manusia itu pertama-tamanya ialah jiwanya; Aristoteles mengatakan bahwa manusia ialah makhluk berakal budi, dan Descartes mengatakan cogito ergo sum[1]. Pernyataan-penyataan para filosof tersebut belum bisa dikatakan “aku’ melainkan bagian dari”aku” karena “aku’ adalah keseluruhan manusia, yang satu, dan utuh.  “aku” adalah suci, murni, dan luhur. Karena bersifat demikian, maka tujuan “aku” manusia ialah mencari suatu kebenaran absolut, kebaikan, keindahan, dan keterbukaan. Dengan demikian manusia menjadi semakin mengodratkan dirinya dan “aku”  semakin meng-eksistensi dalam diri manusia.

Siapa liyan ?
            Orang lain selalu hidup berdampingan dengan aku. Tanpa kehadiran orang lain aku tidak bisa menyadari kehadiranku, ke-ada-anku. Hal ini menunjukkan bahwa orang lain begitu besar peranannya dalam realitas pengada-ku. Aku dilahirkan dari orang lain dan orang lain juga lahir dari orang lain begitu seterusnya. Oleh sebab itu, kehadiran mereka menunjukkan suatu kesatuan hidup manusia karena manusia tidak pernah hidup sendiri tetapi selalu bersama orang lain. Itulah orang lain. Lalu, mengapa ada liyan ?
            Liyan memang berarti orang lain sama dengan the other. Namun liyan dalam pengertian ini lebih cenderung pada makna yang negatif. Dibandingkan dengan penjelasan sebelumnya, liyan ialah sebutan bagi orang lain yang “ diorang-lainkan “. Kehadiran mereka merupakan yang terpisahkan dari kehidupan yang normal. Kehadiran mereka merupakan yang perlu dihindari dan dijauhi dari kehidupan aku. Kehadiran mereka merupakan yang tidak dianggap dan yang perlu “dilenyapkan”. masih banyak pengertian tentang liyan dalam kehidupan ini : PSK, korban bencana, korban perang, para buruh, dan penderita HIV/AIDS misalnya, adalah liyan yang nyata di masa sekarang dan masih banyak bentuk lainnya. Akibat dari gelar liyan yang dicapkan kepada mereka ini menjadikan mereka sendiri tidak bisa mengembangkan kapasitas manusianya, kehilangan esensi partisipasinya, dan selalu hidup dalam keterbelengguan, keterpurukan, dan kehilangan hakikatnya sebagai manusia.

aku - liyan adalah relasi
            Mengatakan aku-liyan adalah relasi dimulai dengan “ know your self “. Hal ini sangat penting bagi perkembangan mutu hidup manusia dari zaman ke zaman. Dengan mengenal diri sendiri aku akan dibawa kepada kesadaran bahwa aku dan liyan adalah  jenis makhluk yang sama yang  berjiwa raga dan berakal budi dan merupakan ciptaan Tuhan yang sempurna. Tetapi “know your self ” juga mengajak manusia menyadari bahwa aku dan liyan adalah ber”aku “ yang sama sekaligus berbeda. Inilah awal relasi.
            Mencapai suatu relasi aku-liyan membutuhkan cinta. Cinta sangat menentukan dalam sebuah relasi. Tanpa cinta tidak ada seorang pun dapat menjalin sebuah relasi. Contoh, ketika kita marah dan benci dengan seorang teman, kita pasti tidak mau menegur, menyapa, dan berbicara dengannya. Dari contoh tersebut mau mengatakan bahwa saat pengalaman itu terjadi relasi menghilang. Orang akan mulai membangun tembok pemisah antara dirinya dan orang yang dimusuhinya. Pemisahan ini akan terus berlanjut jika tidak ada kesadaran akan cinta.
            Relasi aku-liyan merupakan persahabatan dan bukan permusuhan. Aku mau bergaul dengan liyan pertama-tama bukan bermaksud memanfaatkan kehancurannya sebagai liyan, melainkan karena sebuah kesadaran “aku”. Aku bersahabat mempunyai arti aku memberikan ruang agar liyan memenuhi aku. Kehadiran liyan lantas menjadi penuh makna bagi hidup aku. Kehadiran liyan melengkapi apa yang kurang dari hidupku dan dari kekurangan pengertian-ku akan realitas manusia dan keseluruhannya, baik “aku” manusia maupun liyan. Aku bersahabat menandakan sebuah empati aku akan liyan bahwa ia patut diperhatikan, didekati, dan mengakui eksistensi-nya sebagai manusia, teman,dan saudara. Relasi ini akan lebih bermakna saat aku mau memosisikan diri sebagai liyan dan liyan memosisikan diri sebagai aku. Saat memosisikan diri secara demikian, baik aku maupun liyan, akan terjadi hubungan timbal balik antarkeduanya : betapa sakitnya menjadi liyan dan betapa nyamannya menjadi aku. Dari pertukaran yang demikian akan terjadi perubahan   pandangan dalam hidup manusia dan akan terjadi perbaikan dan perkembangan mutu hidup aku-liyan sebagai manusia. inilah sebuah relasi yang menunjukkan sebuah kesadaran “aku” bahwa liyan adalah aku dan aku adalah liyan. Relasi keduanya ini telah  memunculkan sebuah konsep “ you are the other of me “ yang mampu mengubah pandangan dunia tentang siapa liyan itu. Inilah pengakuan eksistensi akan liyan, inilah relasi aku-liyan, dan konsep tentang liyan sebenarnya tidak ada. Perlu kesadaran akan realitas ini.

Kesimpulan
            Kesadaran akan “aku” aku dan kesadaran akan “aku” liyan sangat dibutuhkan dalam realitas kehidupan ini. Hal ini perlu direfleksikan oleh setiap orang untuk melihat kembali dan menyelami makna  ke-eksistensial-an manusia : siapa aku dan orang lain dan apa tujuan dari kehadiran aku dan orang lain. sadarlah aku ada karena kau ada( judul lagu dari radja band ).



[1]Bdk. Prof. Dr. Armada Riyanto, CM, Marcellius Ari Christy, Paulus Punjung Widodo, AKU & LIYAN, ( Malang : Widya Sanana Publication, 2011 ), hlm. 5.

DISKREDIBILITAS RAKYAT : ANCAMAN BAGI KEUTUHAN NKRI

diskredibilitas rakyat : ancaman bagi keutuhan NKRi

oleh : elias jeksen

pendahuluan
melihat berbagai peristiwa dan kasus yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir sampai sekarang menegaskan bahwa Indonesia sedang mengalami disorientasinya sebagai negara. Peristiwa dan kasus yang terjadi, seperti kerusuhan, budaya korupsi, persaingan politik, skandal seks para elit politik, ketidak-tegasan pemerintah, ketidakadilan dan lain-lain, selalu mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini kerap membuat miris bagi orang yang menyaksikan dan mendengarnya dan terlebih membuat para pengamat politik sangat prihatin dengan keadaan Indonesia dan model pemerintahannya. Kasus-kasus seperti ini tentu menjadi batu sandungan bagi rakyat yang menaruh banyak harapan pada negara untuk menyejahterakan, melindungi dan memimpin mereka  kepada kehidupan bangsa yang berkembang dan maju, terutama menuju model negara Indonesia yang dicita-citakan.
Berbagai peristiwa yang telah dan sedang terjadi di Indonesia menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh Indonesia sendiri. Apalagi ke-tidakberes-annya ini kerap mengarah pada pemerintah dan jajarannya. Tentu ketidakberesannya ini selalu berhubungan dengan peranan dan kinerja pemerintah bagi kemajuan negara Indonesia dan rakyatnya. Hal ini juga telah dan sedang berdampak pada rakyatnya sehingga rakyat pun ikut menjadi  “tidak  beres“ . “Ke-tidakberes-an“ rakyat ini sebagai tanggapan atas  ke-tidakberes-an  pemerintah. Maka, dengan hadirnya “ ke-tidakberes-an “ rakyat, “ ke-tidakberes-an “ Indonesia menjadi semakin kompleks.
 Kompleksitas “ke-tidakberes-an“ yang terjadi di Indonesia kalau tidak mampu menemukan solusi yang tepat akan menumbuhkan keadaan Indonesia yang lebih parah lagi. Gambaran Indonesia yang demikian dapat dibandingkan dengan orang yang terkena penyakit tumor yang bila tidak dikontrol dan terkesan membiarkannya tumor akan semakin membesar dan menyebabkan orang tersebut sakit. Jika sudah dalam keadaan akut maka pilihan untuk bertahan hidup semakin kecil dan pilihan berpindah ke alam maut semakin besar. Indonesia akan demikian juga. Jika negara ini sudah mengandung “penyakit“ dan terkesan membiarkan “penyakitnya“ ini berkembang, maka yang terjadi adalah negara akan “sakit” bahkan akan berpotensi menjadi “akut”. maka timbullah pertanyaan :  mengapa muncul ke-tidakberes-an di dalam sistem pemerintahan Indonesia dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? mengapa rakyat ikut “tidak beres“ dan apa yang akan terjadi selanjutnya ? bagaimana dampaknya bagi Indonesia di masa depan ? Inilah beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada pembahasan selanjutnya.

diskredibilitas terhadap Pemerintah hadir di dalam rakyat

Setiap orang pasti merasa gerah dan sakit hati kalau orang yang berjanji terus menerus mengingkari janjinya. Satu dua kali janji itu diingkari mungkin bisa ditolerir tetapi kalau keseringan bisakah itu ditolerir ? mungkin sulit dan itu benar adanya. Kemudian dari sini akan muncul sikap yang awalnya kredibel menjadi diskredibel akan janji orang tersebut. Kalau sudah terjadi demikian ini tanda bahaya karena dapat melahirkan diskredibilitas yang berkepanjangan dan terjadinya kesenjangan relasi keduanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya bisa saja memunculkan potensi disconnected dengan si pembohong.
Ilustrasi di atas juga menggambarkan fakta yang telah dan sedang terjadi di negara Indonesia yang tercinta ini. Model pemerintahan Indonesia yang bersistemkan demokrasi (Yun. Demos = rakyat, cratein = pemerintahan ) sampai saat ini menyimpang jauh dari pengertian dan tujuan aslinya.  Akibatnya pelaksanaan sistem pemerintahan bergerak menuju disfungsional. Buktinya banyak program-program dari pemerintah yang tidak terlaksana, terlantar,dan kalau beroperasi pun terkesan asal-asalan sebab yang mereka inginkan dari banyaknya program yang dicanangkan ialah “ gaji plus-plus “.
Para elite politik sekarang sangat sulit disadarkan kembali kepada orientasi kerjanya sebagai wakil rakyat. Tugas dan tanggung jawab yang mereka emban sebagian besar sering kali dibiarkan begitu saja karena itu bukanlah tujuan mereka terpilih sebagai wakil rakyat. Tujuan mereka ialah mengejar kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Janji-janji yang mereka kumandangkan sewaktu mencalonkan diri hilang begitu saja. Demikian juga sumpah yang mereka ikrarkan setelah terpilih. Mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar mengusahakan apa yang pernah ia janjikan kepada rakyat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar agenda para wakil rakyat yang terpilih selanjutnya ialah mencari status yang lebih tinggi dan memperkayakan diri sepuas-puasnya selagi ada kesempatan. Akibatnya rakyat yang tidak tahu apa-apa dan percaya dengan “ pembodohan “ mereka ditelantarkan begitu saja. Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan rakyat yang “ berteriak “ di kantor mereka masing-masing “diputuskan “ begitu saja agar tidak terdengar dan mengganggu “ kesenangan “ mereka. Masa bodoh dengan apa yang terjadi pada rakyat. terserah ! asalkan mereka sudah nyaman sekarang. Maka, terjadilah keprihatinan yang mendalam : kekuasaan dan kedaulatan rakyat telah diperkosa oleh “ buaya-buaya politik “.
Jika kekuasaan dan kedaulatan rakyat dirampas dan diperkosa para elite politik apa yang akan terjadi ? Diskredibilitas ! ya, akan lahir diskredibilitas terhadap pemerintah. Diskredibilitas rakyat ini kemudian meng-kontribusi-kan kekecewaan yang mendalam. itulah yang kemudian menjadi penyebab rakyat marah sebab pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran tidak lagi berpihak pada mereka. Oleh karena itu mereka sebisanya melawan pemerintah meskipun hukum “lari“ kepada para elite politik. Saya akan memberikan beberapa contoh riil untuk membuktikan fakta yang demikian benar adanya. Pertama, para tokoh lintas agama yang ada di Jakarta mengadakan  perlawanan terhadap SBY karena telah berbohong kepada publik. Kebohongan ini meliputi sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru ( KR : Kalimantan Review,  edisi Maret 2011 : 13 ). Kedua,  pembakaran kantor bupati di Bima, NTT oleh massa yang terkait dengan tidak adanya jawaban dari pemerintah daerah atas tuntutan warga setempat ( Jawa Pos, Jumat, 27 Januari 2012 : 1 ). Ketiga, kekesalan warga terhadap aparat keamanan yang terkesan membiarkan  pada bentrokan berdarah  antara warga setempat dan sebuah ormas di Solo ( Jawa Pos, Sabtu, 5 Mei 2012 : 1 ). 
Beberapa contoh nyata di atas menunjukkan dengan jelas kepada kita adanya pertentangan dengan fungsi Indonesia sebagai negara demokrasi yang ideal.  Di sini hal yang mau ditegaskan ialah dalam sebuah negara yang baik kelompok pemegang kekuasaan itu haruslah kecil. “penegak hukum“ harus memiliki kuasa dan jumlahnya yang lebih besar dan kekuasaan terbesar ada dalam tangan rakyat melalui wakil-wakilnya. Di Indonesia keadaannya terbalik. Pemegang kekuasaan jumlahnya kecil tetapi kekuasaannya amat besar. sedangkan  penegak hukum, kekuasaannya tergantung dan kalah kuatnya dari si penguasa dan rakyat tak berkuasa sama sekali. Dalam keadaan seperti inilah banyak usaha pembangunan tidak menyentuh kebutuhan rakyat, apalagi kebutuhan kelompok minoritas (S. Reksosusilo, C.M., 2007 : 77 ). 

Makna dan tujuan Pancasila beserta UUD negara Indonesia semakin luntur

Kekacauan, disorientasi dan disfungsional dari kinerja para elite politik untuk memajukan sistem pemerintahan Indonesia membuat makna Pancasila sebagai ideologi negara menjadi absurd. Undang-Undang Dasar yang merupakan hasil rumusan Pancasila menjadi kehilangan hakikatnya dan penerapannya dalam keseharian Indonesia, khususnya rakyat. Apa yang diharapkan rakyat dari pemerintah dan tujuan negara ini semakin hari semakin tidak menentu. Konsep dan makna dari Pancasila dan undang-Undang Dasar dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di Indonesia.
Pada awalnya seluruh rakyat memuji dan mengagungkan negara Indonesia sebagai negara Pancasila. Kebanggaan ini muncul karena konsep-konsep, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUd-nya ,dan visi negara ini sangat relevan dan tetap aktual dari masa ke masa. Kekuatan ini diakui juga oleh beberapa negara dunia. Tetapi sekali lagi, pelaksanaannya sangat memilukan dan tidak relevan dengan   kelebihan-kelebihan yang dibangga-banggakan negara ini. Hal itu terjadi sampai saat ini. Kita dapat melihat dan menilai hubungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara ini dengan realitas yang terjadi. Apakah praktek Pancasila menyentuh dan diamalkan oleh seluruh warga negara Indonesia ? sebagian kecil saja ! Lalu, dari ke-tidakmerata-an yang demikian siapakah yang harus dipersalahkan ? Hal senada terjadi juga dalam praktek Undang-Undang Dasar negara ini.
Ada beberapa undang-undang Dasar negara Indonesia yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuan dan tugas asalnya :
1.      UUd pasal 27 ayat 1 tentang menjunjung tinggi hukum negara.
2.      UUD pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama.
3.      UUD pasal 31 ayat 1 tentang hak mendapat pendidikan.
4.      UUD pasal 33 ayat 3 tentang hasil bumi untuk kemakmuran rakyat.
5.      UUD pasal 34 tentang pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar.

Melihat makna kelima undang-undang tersebut tampak tetap aktual sebab menyangkut seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia sampai sekarang. Tetapi yang menjadi persoalannya ialah apakah undang-undang tersebut dirasakan secara merata oleh rakyat atau tidak ? hanya dua kata yang bisa saya sampaikan : sangat tidak ! Itulah fakta yang terjadi sampai sekarang di negara ini. Dalam hal ini juga siapakah yang patut dipersalahkan ? Tentu akan banyak yang mempersalahkan pemerintah karena mereka memerintah tidak dengan semestinya. Dari vonis tersebut hal yang mau ditunjukkan kepada kita ialah republik Indonesia yang dirintis, diperjuangkan, dan diproklamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita; tidak untuk memberikan nikmat yang lebih banyak kepada rakyat ( Sularto, 1999 : 38 ).
Adanya praktek-praktek negara Indonesia yang demikian menunjukkan bahwa  makna Pancasila dan Undang-Undang dasar di negara ini telah luntur. Penyebab lunturnya makna   “ kedua aset yang sangat berharga “  ini sebagian besar adalah para elite politik. merekalah perlaku kriminalnya. Maka,  jangan heran kalau rakyat sudah dan  akan tidak percaya lagi terhadap kinerja pemerintah selama ini. Sikap tersebut adalah keharusan bagi rakyat dan wajar adanya karena sesungguhnya rakyatlah yang berkuasa atas terbentuknya negara ini. Kelahiran negara bukan dari pemerintah tetapi dari rakyat. Tanpa rakyat adakah negara indonesia ? Pemerintah yang tidak pro-rakyat akan mengkontribusikan ancaman terhadap keutuhan NKRI.



Indonesia di masa depan : potensi terancamnya keutuhan Indonesia dan solusinya

Undang-Undang Dasar negara Indonesia merumuskan dengan sangat baik dan relevan dasar-dasar kehidupan bangsa. Hampir semua nilai yang selalu aktual tercantum di sana mulai dari aspek sosial,budaya, politik, HanKam., sampai dengan aspek keagamaan. Tetapi, sekali lagi, bahwa jika dalam pelaksanaannya tidak berpihak pada rakyat dan pemerintah terkesan membiarkannya maka tanda bahaya akan hadir di Indonesia. : primordialisme, diskriminasi, eksklusivisme, rakyat memberontak, teroris, anarkis dan lain-lain. Akan lebih bahaya kalau sampai dengan keinginan pulau dan daerah memisahkan diri dari Indonesia. Gejala-gejala ini telah dan sedang bergerak secara pelan tetapi pasti. Dengan ini kesatuan NKRI menjadi taruhannya.
Masa depan rakyat Indonesia secara eksklusif  semata-mata terletak di dalam bentuk
suatu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya., karena hanya bentuk pemerintahan seperti itu saja yang dapat diterima oleh rakyat ( Reksosusilo, C.M., 2007 : 74 ).
            Oleh sebab itu ada beberapa kewajiban dari pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan rakyat, yaitu :
1.      Kekuatan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarang karena hukum kodrat masih berlaku.
2.      Kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan.
3.      Pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak.
4.      Kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.
5.      undang-undang harus menjamin agar kekuatan politik digunakan bagi kepentingan umum ( John Locke, 2002 : 13 ).
Dengan berpegang pada kewajiban itu maka kedaulatan pada akhirnya berada pada rakyat tetapi diberikan kepada wakil-wakil rakyat secara legiti dapat menjalankan fungsi-fungsi negara ( John Locke, 2002 : 15 ).

penutup
penyimpangan praktek politik di negara Indonesia selalu merugikan rakyat. Penyimpangan ini berimbas hampir pada berbagai aspek : sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Rakyat selalu menjadi korban ketidakadilan pemerintah. Tujuan dan makna Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai ideologi dan dasar negara tidak berpihak pada mereka. Mereka tidak pernah merasakan kesejahteraan dari pemilu. Kalau pun ada hanya pada kelompok-kelompok dan daerah-daerah tertentu. Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan dari rakyat sering tidak dipedulikan , ditindaklanjuti, apalagi direalisasikan. Rakyat bosan dan sakit hati karena dibohongi terus-menerus. Mereka kecewa. Munculnya eksklusivisme, primordialisme, anarkis, dan masalah lainnya disebabkan oleh keteledoran dan ketidaktegasan  pemerintah. Diskredibilitas terhadap pemerintah pun akhirnya timbul dalam diri rakyat. Dari reaksi rakyat ini ada sesuatu yang harus dan perlu dikhawatirkan oleh pemerintah, yaitu keutuhan NKRI akan terancam. Kekhawatiran ini bisa saja terjadi kalau pemerintah dari tahun ke tahun tidak mau bertobat dari kebobrokannya, tetap mempertahankan disorientasi tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, dan tidak ada tekad untuk  mengusahakan secara terus-menerus integrasi Indonesia : sosial,budaya, ekonomi, politik, HanKam., penduduk, sumber daya alam, dan wilayah. Maka, untuk menghindari agar hal itu tidak terjadi pemerintah beserta birokrasinya diberikan kesempatan memperbaiki diri, berpolitik sesuai dengan orientasinya, dan tidak mengecewakan rakyat.


Daftar pustaka

Gunawan setiardja, A., Prof., Dr. Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila. Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Jawa pos, bakar kantor bupati, bebaskan lima puluh tiga tahanan, jumat, 27 januari 2012, hlm. 1 & 19 kol. 2.
-----------, bentrok berdarah pecah di solo, sabtu, 5 Mei 2012, hlm. 1 & 19 kol. 2
Locke, John. Kuasa itu milik rakyat : an essay concerning the true original, extent and end of civil government dalam two treatises of civil government, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta : Kanisius, 2002.
Reksosusilo, S., Dr., C.M. filsafat wawasan nusantara. Malang : Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2007.
Sularto, St. Refleksi agenda reformasi : membangun masyarakat madani. Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Uyub, dominikus. “ Lintas Agama lawan SBY “, Kalimantan Review, Februari 2011, hlm. 64-65.