RSBI terkesan diskriminasi ?
( oleh : j-sen*90 )
k
|
ehadiran RSBI
pada awalnya disambut baik oleh sebagian besar masyarakat kita. Dengan konsep
yang disosialisasikan yang berdasarkan pada pasal 50 ayat 3 UU no.20 tahun 2003, masyarakat diyakinkan bahwa
pemerintah ingin membuka jalan baru bagi dunia pendidikan Indonesia yang lebih
berkualitas untuk ke depannya. Begitulah yang terjadi pada awal berdirinya
sekolah ini. sekolah-sekolah
reguler yang memenuhi syarat untuk diubah statusnya menjadi RSBI menyambut
dengan antusias sekali karena dengan status yang demikian sekolah mereka bisa go
International. Dengan demikian kehadiran sekolah-sekolah berstatus RSBI
seolah-olah menjadi pembawa harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia yang
saat ini sedang mengalami “kegalauan”.
Semua
masyarakat dapat merasakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia jauh tertinggal
dari negara-negara tetangga. Kualitas dan penyediaan sarana dan prasarana bila
disesuaikan dengan syarat-syarat sekolah internasional masih banyak di bawah
standar. Ditambah lagi dengan proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri
yang uring-uringan dan tidak sungguh-sungguh. Kita dapat melihat sistem
pendidikan dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand
dan lain-lain, begitu tertata dan berjalan dengan sangat baik. Pemerintah
negara setempat begitu memperhatikan dunia pendidikannya karena mereka sudah
sampai pada kesadaran bahwa sekolah-sekolah dan para siswanya merupakan harta
yang paling berharga dan masa depan bangsa.
Di
Indonesia kesadaran itu masih mengambang. Dalam arti bahwa pemerintah sudah menyadari
semuanya itu hanya tingkat perhatian yang mereka berikan masih belum mengena dan
maksimal terutama pada proses penyelenggaraan pendidikan itu sendiri, yang
tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Apa yang mereka rencana sungguh amat
baik hanya terhambat pada perhatian, pelaksanaan, dan
pertimbangan-pertimbangan. Yang terakhir kerap tidak dikritisi dengan
sungguh-sungguh. Lihat apa yang terjadi selama ini. pergantian kurikulum dan penghilangan dan penambahan mata
pelajaran adalah salah satu contohnya. Seolah-olah setiap perubahan yang
diberlakukan dengan segera membawa perubahan yang signifikan. Sementara itu
juga, perjalanan dunia pendidikan bangsa kita tidak memiliki sistem yang jelas.
Mana ideologi yang harus diikuti. Padahal unsur yang terpenting dalam memajukan
pendidikan sebuah negara adalah adanya ideologi yang dianut. Tanpa itu dunia
pendidikan sebuah negara tidak akan maju-maju. Inilah yang dikhawatirkan akan
terjadi pada negara Indonesia sendiri.
Kita
bisa mengerti bahwa pada saat dunia pendidikan Indonesia jauh ketinggalan
pemerintah mencanangkan agar menghadirkan sekolah-sekolah berbasis
internasional. Tujuannya sangatlah jelas yakini supaya pendidikan Indonesia
dapat bersaing di dunia internasional. Cara yang instan memang karena terdesak
situasi. oleh karena itu
sekolah-sekolah berstatus RSBI terpaksa dimunculkan.
Namun
kemunculan sekolah-sekolah RSBI sebenarnya tidak harus ada karena belum tentu
mengangkat pendidikan tanah air di mata dunia. Belum lagi masalah yang menjadi
kekhawatiran para pengamat pendidikan, yakni adanya diskriminasi dalam dunia
pendidikan. Itu begitu terasa. Lihatlah apa yang terjadi di lapangan. Para
siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah RSBI sebagian besar dari golongan
keluarga yang secara ekonomi mampu. Sedangkan bagi para siswa yang berasal dari
golongan keluarga miskin, yang secara ekonomi kurang mampu, tidak bisa
merasakan pendidikan di sekolah RSBI yang dikatakan lebih berkualitas itu.
Bisa
dikirakan berapa persen keluarga miskin yang mampu “menembus” sekolah RSBI.
Mungkin hanya satu sampai lima persen. Itu pun pasti mereka yang sebagian besar
mendapat beasiswa atau yang mendapat bantuan dari pihak sekolah atau orang
terdekat. Tetapi pada umumnya keluarga-keluarga yang dari golongan tidak mampu
secara ekonomi terpaksa tidak mendapat tempat di sekolah elit ini. Bisa
dibayangkan SPP saja mencapai ratusan ribu rupiah. Belum lagi biaya yang lain,
seperti DPP dan sarana-sarana sekolah yang lainnya. Seandainya para keluarga
miskin menyekolahkan anaknya di sekolah ini, sampai kapankah mereka mampu
bertahan membiaya sekolah anaknya sementara hasil jerih payah mereka kerap tidak
sebanding dengan biaya pendidikan yang mahal itu? Apakah mereka terus-menerus
mengharapkan bantuan pemerintah? Tentu tidak, bukan? Lalu dalam hal ini siapa
pihak yang salah? Tentunya banyak kalangan yang akan mempersalahkan pemerintah
karena dianggap tidak memperjuangkan hak rakyat kecil atau pro rakyat.
Memang
di satu sisi pemerintah bisa dipersalahkan karena mereka sendirilah yang
melahirkan sekolah-sekolah RSBI. Mereka kurang mempertimbangkan dampak negatif
yang terjadi dari kemunculan sekolah-sekolah ini. sebenarnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan
tanah air kita sangat besar dan patut diacungi jempol. Tetapi sekali lagi
mereka kurang kritis mempertimbangkan dampak negatif yang terjadi ke depannya.
Belum lagi proses penyelenggaraannya yang kerap buruk. Sebagian besar tidak
transparan dan kerap bermain uang. Padahal merekalah pihak utama yang
menentukan maju atau tidaknya dunia pendidikan tanah air kita. Kiranya inilah
salah satu hal yang bisa dipersalahkan terhadap kinerja mereka selama ini. tentunya kita berharap agar keburukan
dan penyimpangan yang telah terjadi tidak berlangsung lama dan segera teratasi.
Di
sisi lain sekolah itu pada dasarnya bersifat elitis. Jika kita kembali ke masa
lampau terutama pada zaman Romawi, sekolah merupakan tempat kedua memperoleh
pendidikan atau ilmu pengetahuan sesudah keluarga. Dalam hal ini pendidikan pertama dan utama
berlangsung dalam keluarga. Sehingga orang tualah yang bertanggung jawab dalam
melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya mengenai kearifan, ketertiban,
pengetahuan, dan kebudayaan. Pendidikan model ini disebut sebagai pendidikan
informal.
Pendidikan
formal atau sekolah baru dirasakan kebutuhannya ketika budaya semakin
berkembang. Artinya bahwa dalam perjalanan waktu banyak hal baru yang muncul
dalam kehidupan dan pendidikan informal yang diperoleh dalam keluarga tidak
mampu lagi mencerna dan mengertinya. Kebudayaan-kebudayaan baru banyak berkembang
dan akhirnya memunculkan pengetahuan yang baru pula. Oleh karena itu untuk
mengetahui dan memahaminya diperlukan waktu dan kondisi yang memungkinkan dan sekolah menjadi tempat yang tepat
sebagai solusinya.
Memang
sekolah menjadi tempat yang pantas untuk itu. Menurut sejarah kelahirannya,
sekolah merupakan kegiatan yang tidak terkait langsung dengan kehidupan.
Istilah sekolah sendiri berasal dari kata Yunani, skole, yang berati waktu luang. Maksudnya ialah bersekolah saat itu
berarti meluangkan waktu khusus di luar kesibukan sehari-hari untuk mempelajari
kebudayaan yang semakin banyak yang tentunya tak bisa lagi dicerna bersamaan
dengan pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari. Jelas tugas ini tidak bisa
ditangani sendiri oleh sebuah keluarga. Fenomena itu terjadi sampai zaman
sekarang. ilmu itu sendiri pun
tidak datang dengan sendirinya kalau tidak ada yang mengajarkannya. Oleh karena
itu sebuah keluarga perlu bantuan seseorang atau lembaga yang bisa menggantikan
posisi mereka dan sekaligus menjadi orang tua kedua bagi anak-anak mereka. Maka
dari itu lahirlah sekolah.
Dengan
adanya kebutuhan itu sekolah menjadi semacam wadah untuk memahami bermacam
fenomena baru yang muncul dalam kehidupan. Di sini ilmu pengetahuan oleh anak-anak
pada umumnya dapat diperoleh dan dicerna secara intensif. Dengan demikian ilmu
pengetahuan menjadi semacam bekal dan senjata dalam memahami fenomena-fenomena
yang sedang terjadi saat ini dan yang akan datang. Dan memang benar kebutuhan
itu menjadi hal yang mutlak sampai saat ini karena dengan hadirnya kebudayaan
yang waktu ke waktu semakin berkembang seperti zaman sekarang ini memaksa kita,
khususnya mereka yang hidup pada zaman Romawi, untuk memiliki banyak kepandaian
dengan tingkat kerumitan yang tinggi yang tidak bisa dipelajari sambil lalu. tentu semua itu tidak gratis tetapi membutuhkan
biaya yang tidak sedikit sehingga pada waktu itu hanya keluarga-keluarga kaya
yang mampu mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah. Inilah faktanya bahwa
sekolah itu memang mahal dan elit.
situasi seperti itu hadir
juga di situasi sekarang, salah satunya di Indonesia sendiri. Di satu sisi, UUD
1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang pendidikan menegaskan bahwa pendidikan di
sekolah atau formal begitu penting dan harus didapatkan oleh semua anak di
Indonesia selain pendidikan informal yang mereka terima dalam keluarganya
masing-masing, sedangkan pemerintah berkewajiban membiayai dan mengadakan
prasarana dan sarana pendidikan. Tetapi di sisi lain terjadi fenomena-fenomena yang
bertolak belakang dengan isi undang-undang itu. Banyak anak yang masih tidak
mendapat haknya. Kalau dilihat penyebabnya sebagian besar terbentur pada
masalah ekonomi, sarana dan prasarana yang tidak ada, khususnya di
daerah-daerah terpencil, dan program sekolah gratis yang tidak merata.
Terlepas
dari masalah klasik itu, ada fenomena yang sebenarnya bisa dikatakan wajar,
yakni hadirnya sekolah elit. Kalau seperti sekarang bisa dicontohkan dengan
sekolah RSBI. Tentu kita tahu dengan baik bahwa sebagian besar sekolah-sekolah
elit, memiliki kualitas pendidikan yang bermutu dan prasarana dan sarana yang
lengkap. Oleh karena itu tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk
dapat mengenyam pendidikan di sekolah itu. Karena mahalnya hanya
keluarga-keluarga yang mampu secara ekonomis saja yang dapat menyekolahkan
anaknya di sekolah elit itu. Inilah yang terjadi di sekolah-sekolah reguler RSBI
yang notabene dikelola oleh pemerintah, apalagi kalau sekolah itu adalah
sekolah swasta, yang dikelola oleh badan swasta itu sendiri dan bukan oleh
pemerintah. Semakin bagus kualitas sebuah sekolah maka semakin mahal pulalah
biaya pendidikannya. Dan ternyata meskipun mahal banyak keluarga, entah itu
dari keluarga yang mampu secara ekonomis maupun yang setengah mampu, masih
berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit. Mahal tidak
menjadi masalah tetapi kualitas dari sekolah itu yang penting karena dengan
demikian pendidikan yang diperoleh anak-anaknya lebih baik, tidak sia-sia, dan
menjamin masa depan si anak dan keluarga ke depannya. Di samping itu ada sebuah
pembelajaran yang berarti bahwa ilmu itu memang mahal dan untuk mendapatkannya,
di samping ketekunan juga butuh pengorbanan, salah satunya adalah dengan rela
mengeluarkan banyak uang (bukan bermain uang). sekolah murah dan gratis belum menjamin kualitas sekolahnya
bagus. Jadi, adalah wajar kalau sekolah berbasis RSBI mahal.
Keluhan-keluhan
yang dilontarkan oleh banyak masyarakat kita mengenai sekolah RSBI ada
benarnya. Kehadiran sekolah-sekolah yang berbasis internasional kerap menjadi
tempat tumbuhnya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Anak-anak dari golongan
keluarga miskin lalu tidak bisa mencicipi pendidikan yang berkualitas di sekolah
itu. Namun pantaskah mereka (sekolah-sekolah RSBI) dipersalahkan? Tentu tidak! yang patut dipersalahkan seharusnya adalah
pemerintah. Jika pemerintah menginginkan pendidikan yang adil dan merata, maka
pemerintah sendiri seharusnya memberlakukan sekolah gratis, mulai dari tingkat
SD sampai dengan SMA. Kita harus berani belajar dari negara-negara yang dunia
pendidikannya sudah maju, seperti negara-negara di Eropa. Mereka sebagian besar
menerapkan sistem ini sehingga tidak ada anak yang tidak bersekolah. Inilah
bentuk keseriusan mereka terhadap dunia pendidikan. Pendidikan bagi mereka
merupakan pilar utama untuk kemajuan negara. seandainya
sistem (sekolah gratis) ini diberlakukan
di Indonesia sendiri hendaknya harus berlaku bagi semua sekolah, entah itu
sekolah negeri maupun sekolah swasta. Karena bagaimana pun sekolah swasta juga
menyumbang banyak hal bagi kemajuan pendidikan di tanah air kita ini. sehingga di Indonesia tidak ada lagi
yang namanya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Maka, harapan Indonesia ke
depan agar dunia pendidikannya maju dan berkualitas dapat terwujud. Namun
semuanya itu harus disadari dengan kesungguhan dan rasa keprihatinan yang
tinggi dari pemerintah, selaku pengatur sistem pendidikan di tanah air tercinta
ini, dan juga dari kita semua sebagai warga bangsa Indonesia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar