JOHN LOCKE DAN KEDAULATAN RAKYAT
dalam Negara demokrasi
Pengantar
Demokrasi adalah system pemerintahan yang sampai saat ini
merupakan model pemerintahan yang paling bagus. Namun kenyataannya rakyat,
selaku pemegang kekuasaan tertinggi kerap menjadi alat permainan para penguasa
Negara. Terutama di Negara demokrasi dunia ketiga, termasuk Indonesia. Para penguasa begitu mudah melupakan rakyat
tatkala mereka dipilih untuk mengatur Negara. Rakyat yang memberikan kekuasaan
kehilangan kekuasaan. Bahkan undang-undang yang dibuat kerap merugikan rakyat.
Melihat kesalahan demokrasi ini penulis ingin menyadarkan kembali kedaulatan
rakyat dalam Negara demokrasi lewat sudut pandang filsafat politik John Locke
dan relevansinya bagi Negara Indonesia, di mana kedaulatan rakyat
dikesampingkan.
Riwayat hidup dan latar belakang pemikirannya
John Locke merupakan salah satu tokoh
perintis Zaman Pencerahan ( Inggris : Enlightement,
Jerman : Aufklarung ).[1]
John Locke lahir di Bristol, Inggris pada tanggal 29 Agustus 1632. Ia belajar
ilmu alam dan kedoketeran. Dia seorang pengarang, dokter, dosen pribadi, dan
seorang diplomat. Profesi yang terakhir ini membuatnya sering mengunjungi
banyak Negara. Dia pernah membaca tulisan-tulisan Decartes sehingga menarik minatnya pada filsafat. Locke meninggal pada tanggal
28 Oktober 1704 di Oates, Inggirs. [2]
Pemikiran Politik Locke kiranya
dipengaruhi oleh dua orang filsuf, yaitu Sir Robert Filmer dan Thomas Hobbes.
Locke menentang teori Patriakal
Filmer. Sedangkan pada Hobbes, Locke
menentang teori Leviathan. [3]
Beberapa pemikiran Locke tentang
politik
a. Kondisi
alamiah
Gagasan mengenai kondisi alamiah bisa
dikatakan sebagai titik awal demokrasi ala Locke. Menurut Locke dalam kondisi
alamiah, manusia dapat hidup layak tanpa perlu adanya kehadiran negara. Sebab
manusia pada dasarnya berkeadaan alamiah. Keadaan alamiah menurutnya ialah
keadaan penuh bebas sempurna, keadaan yang penuh kesetaraan, dan keadaan yang
terikat dengan Hukum Alamiah. Keadaan alamiah Locke ini mau menunjukkan bahwa
kodrat manusia itu adalah sama antara satu sama lain. [4]
Dalam The Second Treatise of Government,
keadaan asali manusia adalah keadaan firdaus. Manusia memiliki hak-hak individu
yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun. Hidup bermasyaratknya diatur oleh
hukum kodrat. Di sana ada kebebasan dan kesamaan.[5]
Selanjutnya Locke menyatakan bahwa meskipun keadaan alamiah menunjuk pada
keadaan penuh kebebasan, bukan berarti arti keadaan yang demikian merupakan
keadaan yang serba boleh. Sebab keadaan alamiah berada di bawah otoritas Hukum
Alamiah yang mengaturnya. Di sini Hukum Alamiah berfungsi untuk mengatur dan
memberikan kewajiban kepada setia orang. Maka pandangan Locke sendiri
tentang keadaan alamiah tidak lain
adalah kebebasan untuk melakukan apa saja yang diperbolehkan oleh Hukum
Alamiah. Dengan kata lain kebebasan berdasarkan yang diperbolehkan secara
moral. Berangkat dari itu Locke melihat beberapa hal yang menurutnya sangat
penting untuk diperhatikan, yaitu bahwa dalam keadaan alamiah kita tetap
memiliki kewajiban moral untuk membatasi perilaku kita (tunduk pada penilaian
moral); bahwa siapa saja yang tetap dalam keadaan alamiah tetap termotivasi
untuk bertindak sebagaimana diarahkan oleh Hukum Alamiah.
b. Kedaulatan
rakyat
Gagasan penting lainnya ialah mengenai
kedaulatan rakyat. Dalam The Rule of law
Locke berpendapat bahwa wakil rakyat atau legislatif harus berada di atas
eksekutif dan lebih berkenan. Sebagai pembuat undang-undang organisasi ini
harus mengawasi undang-undang tersebut agar berjalan dengan semestinya.
Sedangkan eksekutif (pemerintah) hanya sebagai pelaksana hukum. Menurutnya
masyarakat itu lebih dulu ada dari pada negara. Maka dari itu kehendak
masyarakat (rakyat) harus di atas segala-galanya yang terwakili dalam para
wakil rakyat (legislatif) bersama pemerintah (eksekutif). Untuk itu agar karya
legislatif selaras dengan kehendak rakyat,
Locke mengajukan beberapa syarat yang harus dilaksanakan, yaitu pertama, hukum harus berlaku bagi semua
orang. Kedua, pembuatan hukum dan
peraturan harus mengarah pada kejujuran
dan tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang, dan tidak boleh bertindak untuk
tujuan menindas tetapi harus untuk kebahagiaan bersama. Ketiga, hukum dan peraturan yang memungut uang rakyat harus atas
persetujuan rakyat. Keempat,
legislatif tidak boleh mendelegasikan kekuasaannya. [6]
Rakyat menurut pandangan Locke adalah
pemegang kekuasaan. Perlawanan yang dilakukan rakyat bukanlah suatu
pemberontakan. Perlawanan yang mereka lakukan merupakan upaya memelihara dan
mempertahankan haknya. Karena pandangan yang demikian maka
pemerintah dianggap pemberontak. Meskipun demikian bagi Locke penggunaan
kekuasaan dan hak rakyat tidak sebebasnya. Ia mengajukan dua syarat, yaitu pertama, kekuasaan rakyat yang bersifat
perlawanan hendaknya digunakan seperlunya. Hendaknya hanya digunakan untuk
menegakkan keadilan dan harus berdasarkan hukum. Kedua, hak ats penggunaan kekuasaan tersebut hendaknya digunakan
dengan semestinya oleh sebagian besar rakyat. Berdasarkan syarat yang diajukan
ini, Locke ingin menyerukan moralitas. Ia ingin pemerintah menjalankan tugasnya
dengan berbuat yang benar. Ini dikatakannya untuk menghindari penggunaan
kekuasaan rakyat dan kerugian besar yang timbulkan. [7]
Relevansi Politik Locke untuk Indonesia
a.
Pilkada oleh DPR
Beberapa pekan yang lalu rakyat
Indonesia dicemaskan dengan pengesahan UU Pilkada oleh DPR. Kecemasan ini cukup
beralasan 1) karena jelas menyimpang dari demokrasi, 2) rakyat kehilangan hak suara dalam
menentukan pemimpinnya, 3) rentan terjadinya KKN dan politik yagn tidak sehat.
Akibat yang bisa diperkirakan dari system Pilkada oleh DPR tersebut adalah
rakyat dirugikan dan rakyat seolah-olah
menjadi penonton. Mereka terasa terjajah oleh negaranya sendiri karena tidak
mendapatkan apa yagn seharusnya ia dapat sebagai rakyat yang berdaulat.
Pilkada oleh DPR menunjukkan sebuah kemerosotan demokrasi di
Indonesia. Sebuah negara menjunjung tinggi demokrasi seperti Indonesia
seharusnya memegang prinsip demokrasi yang sudah ada, yakni setiap pemilihan
pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Bukan sebaliknya. Jika sebaliknya maka
dapat dipikirkan ada permainan dan pertarungan politik politik di sana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa
Pilkada oleh DPR dilakukan karena mahalnya biaya politik, banyak membuang uang
rakyat, dan maraknya politik uang (Kompas,
15 oktober 2014). Walau pun berkehendak baik untuk menghemat uang negara, sistem
Pilkada oleh DPR tetaplah tidak menjunjung tinggi nilai demokrasi. Pemilu
sampai dengan pilkada tetap dipandangan sebagai pesta rakyat. Jika bermakna
pesta rakyat maka tidak masalah uang Negara digunakan sebesar apapun itu, sebab
uang Negara adalah uang rakyat. Lagi pula orang pilihan rakyat (pemimpin) yang
mewujudkan sebuah perubahan dan kesejahteraan bagi rakyat lebih bernilai
daripada uang Negara, sebanyak apapun itu. Masdar Himly dalam Kompas : opini, 15 Oktober 2014
mengatakan bahwa memilih langsung seorang pemimpi-terutama dalam system
presidensialisme- merupakan bagian dari hak-hak dasar rakyat (civil rights )yang tidak bisa
diwakilkan. Pemenuhan Negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan,
melainkan kewajiban Negara untuk terus mengawal dan melindungi.
b.
Kemarahan Rakyat
Kemarahan rakyat adalah wujud dari diskredibilitasnya
terhadap pemerintah. Berakibat fatal jika pemegang kekuasaan atau pemerintah
menyalahgunakan kekuasaannya dan kepercayaan rakyat. Seperti gagasan Locke
bahwa kuasa itu milik rakyat. Rakyat dapat menurunkan secara paksa para elit
politik yang berbuat demikian. Sebab pada dasarnya negara adalah bentukan dari
atau kesepakatan dari rakyat. Tanpa rakyat tidak ada Negara. Tanpa rakyat tidak
ada yang diperintah atau diatur oleh pemegang kekuasaan. Para pemerintah hanya
dikontrak untuk bekerja bagi rakyat. Maka perlu ada kesasdaran dari elit
politik bahwa kedaulatan rakyat itu hendak mengatakan bahwa rakyat sendiri yang
berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa. [8]
c.
Pemerintahan Demokratis : dari, oleh,
dan untuk rakyat
Locke, mengawali demokrasinya lewat
gagasan kondisi alamiah. Ia menegaskan bahwa manusia itu hidup bermasyarakat
yang diatur oleh hukum kodrat. Setiap individu mempunyai hak-hak alamiah yang
tidak bisa rampas. Mereka memiliki kebebasan dan kesamaan di sana. Adanya
Negara merupakan kesepakatan dari setiap individu untuk mengatur dan
mempertahankan kehidupan mereka yang
independen. Perlunya Negara bagi Locke, karena ia tidak percaya bahwa manusia
itu selalu baik. Namun kekuasaan harus dibatasi oleh hukum-hukum tertentu untuk
tidak koersif terhadap hak-hak rakyat.
Proses penyelenggaraan negara harus
disadari oleh seluruh jajaran birokrasinya sebagai proses pelayanan kepada
rakyat. Persoalan yang selalu muncul ialah sebagian besar para birokrat justru
menjelmakan dirinya sebagai sebuah lembaga birokrasi yang jauh dari rakyat. [9]
Perlu disadari bahwa sebuah pemerintahan tidak bisa mengklaim dirinya sebagai
pemerintahan yang demokratis manakala rakyatnya tidak diberikan peluang yang
luas untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan nasional.[10]
Suatu pemerintahan atau lembaga
perwakilan tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya legitimasi
politik yang penuh dari rakyat. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah tolak
ukur dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Agar hal
itu tercapai pemerintah atau lembaga harus
memiliki kecakapan dan memanejemenkan negara secara menyeluruh. Program
pemerintah atau lembaga harus menyentuh rakyat secara langsung.[11]
Salah satu ciri dari sebuah negera yang demokrasi ialah besarnya partisipasi
rakyat terhadap kinerja pemerintahannya. Sebab pemerintahan yang demokratis
adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan tertinggi berada
di tangan rakyat.[12]
Rakyat baik melalui referendum maupun
para wakilnya di lembaga legislative, harus memiliki kewenangan untuk mengubah
konstitusi yang merupakan sumber hukum tertinggi di negara Indonesia. Namun
kewenangan rakyat ini harus didasarkan atas pertimabgnan yang komprehensif.
Maka pentingnya pengakuan partisipasi rakyat dalam setiap pemerintahan yang
demokratis. [13]
Penutup
Dalam Negara demokrasi, kekuasaan
rakyat adalah yang tertinggi. Rakyatlah yang sebenarnya berkuasa atas
negaranya. Pemerintah dipilih hanya untuk melaksanakan mandat rakyat.
Penyalahgunaan kekuasaan-seperti Pilkada oleh DPR- merupakan kejahatan yang
merugikan rakyat, tuan mereka dan sekaligus melunturkan makna demokrasi.
Diskredibilitas dalam rakyat yang sudah parah
perlu diwaspadai karena akan meluapkan kemarahan rakyat. Rakyat melawan.
Maka perlu dibatinkan bagi para pelaksana hukum secara khusus pemegang
kekuasaan (pemerintah dan elit politik) konsep kedaulatan rakyat. Dengan
menyadari makna statusnya dan status rakyat pemegang kekuasaan, dijamin bahwa
mereka, pemegang kekuasaan dapat melaksanakan tugasnya untuk kesejahteraan
Negara dengan baik tanpa merugikan rakyat. Di sinilah implikasi pemerintah yang
dari-oleh-untuk rakyat terwujud meski tidak sempurna. Sebab tidak ada
pemerintah yang berjalan sempurna dalam tugasnya. Yang penting dari semuanya
itu ialah menyadari hakikat demokrasi dan kedaulatan rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori Saleh, Imam dan Jazim Hamidi. memerdekakan Indoesia Kembali. IRCiSoD :
Yogyakarta, 2004.
Drs. Sitanggang, H. Filsafat dan Etika Pemerintahan.
Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1998.
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Gramedia : Jakarta, 1983
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern : Dari Machiavelli sampai
Nietzsche. Gramedia : Jakarta.
Locke,
John. Kuasa Itu Milik Rakyat. Kanisius
: Yogyakarta, 2002.
Nurtjahjo,
Hendra. Filsafat Demokrasi. Bumi
Askara : Jakarta, 2006.
Woff
, Jonathan. Pengantar Filsafat Politik. Nusa Media : Bandung, 2013.
[1] John Locke, Kuasa Itu Milik Rakyat,
Kanisius : Yogyakarta, 2002, hlm. 5.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Gramedia : Jakarta, 1983, hlm. 18
[3] John Lock, op.cit., hlm. 7,9.
[4] Jonathan Woff, Pengantar Filsafat Politik, Nusa Media :
Bandung, 2013, hlm. 26-28
[5] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern : Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Gramedia : Jakarta, hlm. 80-81.
[6] Drs. H. Sitanggang, Filsafat dan Etika Pemerintahan,
Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1998 hlm. 46-47.
[7] Ibid.
[8] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi Askara :
Jakarta, 2006, hlm. 34
[9] Imam Anshori Saleh dan Jazim
Hamidi, memerdekakan Indoesia
Kembali, IRCiSoD : Yogyakarta, 2004, hlm.
129
[10] Ibid.,130
[11] Hendra Nurtjahjo, op.cit., hlm. 17
[12]
Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, op.cit.,
hl,. 127
[13] Ibid.,128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar