11/07/2014

JOHN LOCKE DAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM NEGARA DEMOKRASI

JOHN LOCKE DAN KEDAULATAN RAKYAT
dalam Negara demokrasi
Pengantar
Demokrasi adalah system pemerintahan yang sampai saat ini merupakan model pemerintahan yang paling bagus. Namun kenyataannya rakyat, selaku pemegang kekuasaan tertinggi kerap menjadi alat permainan para penguasa Negara. Terutama di Negara demokrasi dunia ketiga, termasuk Indonesia.  Para penguasa begitu mudah melupakan rakyat tatkala mereka dipilih untuk mengatur Negara. Rakyat yang memberikan kekuasaan kehilangan kekuasaan. Bahkan undang-undang yang dibuat kerap merugikan rakyat. Melihat kesalahan demokrasi ini penulis ingin menyadarkan kembali kedaulatan rakyat dalam Negara demokrasi lewat sudut pandang filsafat politik John Locke dan relevansinya bagi Negara Indonesia, di mana kedaulatan rakyat dikesampingkan.

Riwayat hidup dan latar belakang pemikirannya
John Locke merupakan salah satu tokoh perintis Zaman Pencerahan ( Inggris : Enlightement, Jerman : Aufklarung ).[1] John Locke lahir di Bristol, Inggris pada tanggal 29 Agustus 1632. Ia belajar ilmu alam dan kedoketeran. Dia seorang pengarang, dokter, dosen pribadi, dan seorang diplomat. Profesi yang terakhir ini membuatnya sering mengunjungi banyak Negara. Dia pernah membaca tulisan-tulisan Decartes sehingga menarik minatnya  pada filsafat. Locke meninggal pada tanggal 28 Oktober 1704 di Oates, Inggirs. [2]
Pemikiran Politik Locke kiranya dipengaruhi oleh dua orang filsuf, yaitu Sir Robert Filmer dan Thomas Hobbes. Locke menentang teori Patriakal Filmer. Sedangkan pada Hobbes, Locke  menentang teori Leviathan. [3]

Beberapa pemikiran Locke tentang politik

a.    Kondisi alamiah
Gagasan mengenai kondisi alamiah bisa dikatakan sebagai titik awal demokrasi ala Locke. Menurut Locke dalam kondisi alamiah, manusia dapat hidup layak tanpa perlu adanya kehadiran negara. Sebab manusia pada dasarnya berkeadaan alamiah. Keadaan alamiah menurutnya ialah keadaan penuh bebas sempurna, keadaan yang penuh kesetaraan, dan keadaan yang terikat dengan Hukum Alamiah. Keadaan alamiah Locke ini mau menunjukkan bahwa kodrat manusia itu adalah sama antara satu sama lain. [4]
Dalam The Second Treatise of  Government, keadaan asali manusia adalah keadaan firdaus. Manusia memiliki hak-hak individu yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun. Hidup bermasyaratknya diatur oleh hukum kodrat. Di sana ada kebebasan dan kesamaan.[5] Selanjutnya Locke menyatakan bahwa meskipun keadaan alamiah menunjuk pada keadaan penuh kebebasan, bukan berarti arti keadaan yang demikian merupakan keadaan yang serba boleh. Sebab keadaan alamiah berada di bawah otoritas Hukum Alamiah yang mengaturnya. Di sini Hukum Alamiah berfungsi untuk mengatur dan memberikan kewajiban kepada setia orang. Maka pandangan Locke sendiri tentang  keadaan alamiah tidak lain adalah kebebasan untuk melakukan apa saja yang diperbolehkan oleh Hukum Alamiah. Dengan kata lain kebebasan berdasarkan yang diperbolehkan secara moral. Berangkat dari itu Locke melihat beberapa hal yang menurutnya sangat penting untuk diperhatikan, yaitu bahwa dalam keadaan alamiah kita tetap memiliki kewajiban moral untuk membatasi perilaku kita (tunduk pada penilaian moral); bahwa siapa saja yang tetap dalam keadaan alamiah tetap termotivasi untuk bertindak sebagaimana diarahkan oleh Hukum Alamiah.

b.    Kedaulatan rakyat
Gagasan penting lainnya ialah mengenai kedaulatan rakyat. Dalam The Rule of law Locke berpendapat bahwa wakil rakyat atau legislatif harus berada di atas eksekutif dan lebih berkenan. Sebagai pembuat undang-undang organisasi ini harus mengawasi undang-undang tersebut agar berjalan dengan semestinya. Sedangkan eksekutif (pemerintah) hanya sebagai pelaksana hukum. Menurutnya masyarakat itu lebih dulu ada dari pada negara. Maka dari itu kehendak masyarakat (rakyat) harus di atas segala-galanya yang terwakili dalam para wakil rakyat (legislatif) bersama pemerintah (eksekutif). Untuk itu agar karya legislatif selaras dengan kehendak rakyat,  Locke mengajukan beberapa syarat yang harus dilaksanakan, yaitu pertama, hukum harus berlaku bagi semua orang. Kedua, pembuatan hukum dan peraturan harus mengarah pada  kejujuran dan tidak boleh ada tindakan sewenang-wenang, dan tidak boleh bertindak untuk tujuan menindas tetapi harus untuk kebahagiaan bersama. Ketiga, hukum dan peraturan yang memungut uang rakyat harus atas persetujuan rakyat. Keempat, legislatif tidak boleh mendelegasikan kekuasaannya. [6]
Rakyat menurut pandangan Locke adalah pemegang kekuasaan. Perlawanan yang dilakukan rakyat bukanlah suatu pemberontakan. Perlawanan yang mereka lakukan merupakan upaya memelihara dan mempertahankan haknya. Karena pandangan yang demikian  maka  pemerintah dianggap pemberontak. Meskipun demikian bagi Locke penggunaan kekuasaan dan hak rakyat tidak sebebasnya. Ia mengajukan dua syarat, yaitu pertama, kekuasaan rakyat yang bersifat perlawanan hendaknya digunakan seperlunya. Hendaknya hanya digunakan untuk menegakkan keadilan dan harus berdasarkan hukum. Kedua, hak ats penggunaan kekuasaan tersebut hendaknya digunakan dengan semestinya oleh sebagian besar rakyat. Berdasarkan syarat yang diajukan ini, Locke ingin menyerukan moralitas. Ia ingin pemerintah menjalankan tugasnya dengan berbuat yang benar. Ini dikatakannya untuk menghindari penggunaan kekuasaan rakyat dan kerugian besar yang timbulkan. [7]

Relevansi Politik Locke untuk Indonesia

a.    Pilkada oleh DPR
Beberapa pekan yang lalu rakyat Indonesia dicemaskan dengan pengesahan UU Pilkada oleh DPR. Kecemasan ini cukup beralasan 1) karena jelas menyimpang dari demokrasi,  2) rakyat kehilangan hak suara dalam menentukan pemimpinnya, 3) rentan terjadinya KKN dan politik yagn tidak sehat. Akibat yang bisa diperkirakan dari system Pilkada oleh DPR tersebut adalah rakyat dirugikan dan  rakyat seolah-olah menjadi penonton. Mereka terasa terjajah oleh negaranya sendiri karena tidak mendapatkan apa yagn seharusnya ia dapat sebagai rakyat yang berdaulat.
Pilkada oleh DPR  menunjukkan sebuah kemerosotan demokrasi di Indonesia. Sebuah negara menjunjung tinggi demokrasi seperti Indonesia seharusnya memegang prinsip demokrasi yang sudah ada, yakni setiap pemilihan pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Bukan sebaliknya. Jika sebaliknya maka dapat dipikirkan ada permainan dan pertarungan politik politik di sana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Pilkada oleh DPR dilakukan karena mahalnya biaya politik, banyak membuang uang rakyat, dan maraknya politik uang (Kompas, 15 oktober 2014). Walau pun berkehendak baik untuk menghemat uang negara, sistem Pilkada oleh DPR tetaplah tidak menjunjung tinggi nilai demokrasi. Pemilu sampai dengan pilkada tetap dipandangan sebagai pesta rakyat. Jika bermakna pesta rakyat maka tidak masalah uang Negara digunakan sebesar apapun itu, sebab uang Negara adalah uang rakyat. Lagi pula orang pilihan rakyat (pemimpin) yang mewujudkan sebuah perubahan dan kesejahteraan bagi rakyat lebih bernilai daripada uang Negara, sebanyak apapun itu. Masdar Himly dalam Kompas : opini, 15 Oktober 2014 mengatakan bahwa memilih langsung seorang pemimpi-terutama dalam system presidensialisme- merupakan bagian dari hak-hak dasar rakyat (civil rights )yang tidak bisa diwakilkan. Pemenuhan Negara atas hak-hak sipil warga bukanlah soal pilihan, melainkan kewajiban Negara untuk terus mengawal dan melindungi.

b.    Kemarahan Rakyat
Kemarahan rakyat adalah wujud dari diskredibilitasnya terhadap pemerintah. Berakibat fatal jika pemegang kekuasaan atau pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dan kepercayaan rakyat. Seperti gagasan Locke bahwa kuasa itu milik rakyat. Rakyat dapat menurunkan secara paksa para elit politik yang berbuat demikian. Sebab pada dasarnya negara adalah bentukan dari atau kesepakatan dari rakyat. Tanpa rakyat tidak ada Negara. Tanpa rakyat tidak ada yang diperintah atau diatur oleh pemegang kekuasaan. Para pemerintah hanya dikontrak untuk bekerja bagi rakyat. Maka perlu ada kesasdaran dari elit politik bahwa kedaulatan rakyat itu hendak mengatakan bahwa rakyat sendiri yang berwenang untuk menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa. [8]

c.      Pemerintahan Demokratis : dari, oleh, dan untuk rakyat
Locke, mengawali demokrasinya lewat gagasan kondisi alamiah. Ia menegaskan bahwa manusia itu hidup bermasyarakat yang diatur oleh hukum kodrat. Setiap individu mempunyai hak-hak alamiah yang tidak bisa rampas. Mereka memiliki kebebasan dan kesamaan di sana. Adanya Negara merupakan kesepakatan dari setiap individu untuk mengatur dan mempertahankan  kehidupan mereka yang independen. Perlunya Negara bagi Locke, karena ia tidak percaya bahwa manusia itu selalu baik. Namun kekuasaan harus dibatasi oleh hukum-hukum tertentu untuk tidak koersif terhadap hak-hak rakyat.
Proses penyelenggaraan negara harus disadari oleh seluruh jajaran birokrasinya sebagai proses pelayanan kepada rakyat. Persoalan yang selalu muncul ialah sebagian besar para birokrat justru menjelmakan dirinya sebagai sebuah lembaga birokrasi yang jauh dari rakyat. [9] Perlu disadari bahwa sebuah pemerintahan tidak bisa mengklaim dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis manakala rakyatnya tidak diberikan peluang yang luas untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan nasional.[10]  Suatu pemerintahan atau lembaga perwakilan tidak mungkin dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya legitimasi politik yang penuh dari rakyat. Keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah tolak ukur dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Agar hal itu  tercapai pemerintah atau lembaga harus memiliki kecakapan dan memanejemenkan negara secara menyeluruh. Program pemerintah atau lembaga harus menyentuh rakyat secara langsung.[11] Salah satu ciri dari sebuah negera yang demokrasi ialah besarnya partisipasi rakyat terhadap kinerja pemerintahannya. Sebab pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan tertinggi berada di tangan  rakyat.[12]  Rakyat baik melalui referendum maupun para wakilnya di lembaga legislative, harus memiliki kewenangan untuk mengubah konstitusi yang merupakan sumber hukum tertinggi di negara Indonesia. Namun kewenangan rakyat ini harus didasarkan atas pertimabgnan yang komprehensif. Maka pentingnya pengakuan partisipasi rakyat dalam setiap pemerintahan yang demokratis. [13]

Penutup
Dalam Negara demokrasi, kekuasaan rakyat adalah yang tertinggi. Rakyatlah yang sebenarnya berkuasa atas negaranya. Pemerintah dipilih hanya untuk melaksanakan mandat rakyat. Penyalahgunaan kekuasaan-seperti Pilkada oleh DPR- merupakan kejahatan yang merugikan rakyat, tuan mereka dan sekaligus melunturkan makna demokrasi. Diskredibilitas dalam rakyat yang sudah parah  perlu diwaspadai karena akan meluapkan kemarahan rakyat. Rakyat melawan. Maka perlu dibatinkan bagi para pelaksana hukum secara khusus pemegang kekuasaan (pemerintah dan elit politik) konsep kedaulatan rakyat. Dengan menyadari makna statusnya dan status rakyat pemegang kekuasaan, dijamin bahwa mereka, pemegang kekuasaan dapat melaksanakan tugasnya untuk kesejahteraan Negara dengan baik tanpa merugikan rakyat. Di sinilah implikasi pemerintah yang dari-oleh-untuk rakyat terwujud meski tidak sempurna. Sebab tidak ada pemerintah yang berjalan sempurna dalam tugasnya. Yang penting dari semuanya itu ialah menyadari hakikat demokrasi dan kedaulatan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA
Anshori Saleh, Imam dan Jazim Hamidi. memerdekakan Indoesia Kembali. IRCiSoD : Yogyakarta, 2004.
Drs. Sitanggang, H. Filsafat dan Etika Pemerintahan.  Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1998.
Hamersma, Harry. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Gramedia : Jakarta, 1983
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern : Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia : Jakarta.
Locke, John.  Kuasa Itu  Milik Rakyat. Kanisius : Yogyakarta, 2002.
Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. Bumi Askara : Jakarta, 2006.
Woff , Jonathan.  Pengantar Filsafat Politik.  Nusa Media : Bandung,  2013.








[1] John Locke, Kuasa Itu  Milik Rakyat, Kanisius : Yogyakarta, 2002, hlm. 5.
[2] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia : Jakarta, 1983, hlm. 18
[3] John Lock, op.cit., hlm. 7,9.
[4] Jonathan Woff, Pengantar Filsafat Politik, Nusa Media : Bandung,  2013, hlm. 26-28
[5] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern : Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia : Jakarta, hlm. 80-81.
[6] Drs. H. Sitanggang, Filsafat dan Etika Pemerintahan, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1998 hlm. 46-47.
[7] Ibid.
[8] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi Askara : Jakarta, 2006, hlm. 34
[9] Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, memerdekakan Indoesia Kembali, IRCiSoD : Yogyakarta, 2004, hlm.  129
[10] Ibid.,130
[11] Hendra Nurtjahjo, op.cit., hlm. 17
[12]  Imam Anshori Saleh dan Jazim Hamidi, op.cit., hl,. 127
[13] Ibid.,128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar