11/07/2014

DISKREDIBILITAS RAKYAT : ANCAMAN BAGI KEUTUHAN NKRI

diskredibilitas rakyat : ancaman bagi keutuhan NKRi

oleh : elias jeksen

pendahuluan
melihat berbagai peristiwa dan kasus yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir sampai sekarang menegaskan bahwa Indonesia sedang mengalami disorientasinya sebagai negara. Peristiwa dan kasus yang terjadi, seperti kerusuhan, budaya korupsi, persaingan politik, skandal seks para elit politik, ketidak-tegasan pemerintah, ketidakadilan dan lain-lain, selalu mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini kerap membuat miris bagi orang yang menyaksikan dan mendengarnya dan terlebih membuat para pengamat politik sangat prihatin dengan keadaan Indonesia dan model pemerintahannya. Kasus-kasus seperti ini tentu menjadi batu sandungan bagi rakyat yang menaruh banyak harapan pada negara untuk menyejahterakan, melindungi dan memimpin mereka  kepada kehidupan bangsa yang berkembang dan maju, terutama menuju model negara Indonesia yang dicita-citakan.
Berbagai peristiwa yang telah dan sedang terjadi di Indonesia menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh Indonesia sendiri. Apalagi ke-tidakberes-annya ini kerap mengarah pada pemerintah dan jajarannya. Tentu ketidakberesannya ini selalu berhubungan dengan peranan dan kinerja pemerintah bagi kemajuan negara Indonesia dan rakyatnya. Hal ini juga telah dan sedang berdampak pada rakyatnya sehingga rakyat pun ikut menjadi  “tidak  beres“ . “Ke-tidakberes-an“ rakyat ini sebagai tanggapan atas  ke-tidakberes-an  pemerintah. Maka, dengan hadirnya “ ke-tidakberes-an “ rakyat, “ ke-tidakberes-an “ Indonesia menjadi semakin kompleks.
 Kompleksitas “ke-tidakberes-an“ yang terjadi di Indonesia kalau tidak mampu menemukan solusi yang tepat akan menumbuhkan keadaan Indonesia yang lebih parah lagi. Gambaran Indonesia yang demikian dapat dibandingkan dengan orang yang terkena penyakit tumor yang bila tidak dikontrol dan terkesan membiarkannya tumor akan semakin membesar dan menyebabkan orang tersebut sakit. Jika sudah dalam keadaan akut maka pilihan untuk bertahan hidup semakin kecil dan pilihan berpindah ke alam maut semakin besar. Indonesia akan demikian juga. Jika negara ini sudah mengandung “penyakit“ dan terkesan membiarkan “penyakitnya“ ini berkembang, maka yang terjadi adalah negara akan “sakit” bahkan akan berpotensi menjadi “akut”. maka timbullah pertanyaan :  mengapa muncul ke-tidakberes-an di dalam sistem pemerintahan Indonesia dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? mengapa rakyat ikut “tidak beres“ dan apa yang akan terjadi selanjutnya ? bagaimana dampaknya bagi Indonesia di masa depan ? Inilah beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada pembahasan selanjutnya.

diskredibilitas terhadap Pemerintah hadir di dalam rakyat

Setiap orang pasti merasa gerah dan sakit hati kalau orang yang berjanji terus menerus mengingkari janjinya. Satu dua kali janji itu diingkari mungkin bisa ditolerir tetapi kalau keseringan bisakah itu ditolerir ? mungkin sulit dan itu benar adanya. Kemudian dari sini akan muncul sikap yang awalnya kredibel menjadi diskredibel akan janji orang tersebut. Kalau sudah terjadi demikian ini tanda bahaya karena dapat melahirkan diskredibilitas yang berkepanjangan dan terjadinya kesenjangan relasi keduanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya bisa saja memunculkan potensi disconnected dengan si pembohong.
Ilustrasi di atas juga menggambarkan fakta yang telah dan sedang terjadi di negara Indonesia yang tercinta ini. Model pemerintahan Indonesia yang bersistemkan demokrasi (Yun. Demos = rakyat, cratein = pemerintahan ) sampai saat ini menyimpang jauh dari pengertian dan tujuan aslinya.  Akibatnya pelaksanaan sistem pemerintahan bergerak menuju disfungsional. Buktinya banyak program-program dari pemerintah yang tidak terlaksana, terlantar,dan kalau beroperasi pun terkesan asal-asalan sebab yang mereka inginkan dari banyaknya program yang dicanangkan ialah “ gaji plus-plus “.
Para elite politik sekarang sangat sulit disadarkan kembali kepada orientasi kerjanya sebagai wakil rakyat. Tugas dan tanggung jawab yang mereka emban sebagian besar sering kali dibiarkan begitu saja karena itu bukanlah tujuan mereka terpilih sebagai wakil rakyat. Tujuan mereka ialah mengejar kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Janji-janji yang mereka kumandangkan sewaktu mencalonkan diri hilang begitu saja. Demikian juga sumpah yang mereka ikrarkan setelah terpilih. Mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar mengusahakan apa yang pernah ia janjikan kepada rakyat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar agenda para wakil rakyat yang terpilih selanjutnya ialah mencari status yang lebih tinggi dan memperkayakan diri sepuas-puasnya selagi ada kesempatan. Akibatnya rakyat yang tidak tahu apa-apa dan percaya dengan “ pembodohan “ mereka ditelantarkan begitu saja. Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan rakyat yang “ berteriak “ di kantor mereka masing-masing “diputuskan “ begitu saja agar tidak terdengar dan mengganggu “ kesenangan “ mereka. Masa bodoh dengan apa yang terjadi pada rakyat. terserah ! asalkan mereka sudah nyaman sekarang. Maka, terjadilah keprihatinan yang mendalam : kekuasaan dan kedaulatan rakyat telah diperkosa oleh “ buaya-buaya politik “.
Jika kekuasaan dan kedaulatan rakyat dirampas dan diperkosa para elite politik apa yang akan terjadi ? Diskredibilitas ! ya, akan lahir diskredibilitas terhadap pemerintah. Diskredibilitas rakyat ini kemudian meng-kontribusi-kan kekecewaan yang mendalam. itulah yang kemudian menjadi penyebab rakyat marah sebab pelayanan, perlindungan, kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran tidak lagi berpihak pada mereka. Oleh karena itu mereka sebisanya melawan pemerintah meskipun hukum “lari“ kepada para elite politik. Saya akan memberikan beberapa contoh riil untuk membuktikan fakta yang demikian benar adanya. Pertama, para tokoh lintas agama yang ada di Jakarta mengadakan  perlawanan terhadap SBY karena telah berbohong kepada publik. Kebohongan ini meliputi sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru ( KR : Kalimantan Review,  edisi Maret 2011 : 13 ). Kedua,  pembakaran kantor bupati di Bima, NTT oleh massa yang terkait dengan tidak adanya jawaban dari pemerintah daerah atas tuntutan warga setempat ( Jawa Pos, Jumat, 27 Januari 2012 : 1 ). Ketiga, kekesalan warga terhadap aparat keamanan yang terkesan membiarkan  pada bentrokan berdarah  antara warga setempat dan sebuah ormas di Solo ( Jawa Pos, Sabtu, 5 Mei 2012 : 1 ). 
Beberapa contoh nyata di atas menunjukkan dengan jelas kepada kita adanya pertentangan dengan fungsi Indonesia sebagai negara demokrasi yang ideal.  Di sini hal yang mau ditegaskan ialah dalam sebuah negara yang baik kelompok pemegang kekuasaan itu haruslah kecil. “penegak hukum“ harus memiliki kuasa dan jumlahnya yang lebih besar dan kekuasaan terbesar ada dalam tangan rakyat melalui wakil-wakilnya. Di Indonesia keadaannya terbalik. Pemegang kekuasaan jumlahnya kecil tetapi kekuasaannya amat besar. sedangkan  penegak hukum, kekuasaannya tergantung dan kalah kuatnya dari si penguasa dan rakyat tak berkuasa sama sekali. Dalam keadaan seperti inilah banyak usaha pembangunan tidak menyentuh kebutuhan rakyat, apalagi kebutuhan kelompok minoritas (S. Reksosusilo, C.M., 2007 : 77 ). 

Makna dan tujuan Pancasila beserta UUD negara Indonesia semakin luntur

Kekacauan, disorientasi dan disfungsional dari kinerja para elite politik untuk memajukan sistem pemerintahan Indonesia membuat makna Pancasila sebagai ideologi negara menjadi absurd. Undang-Undang Dasar yang merupakan hasil rumusan Pancasila menjadi kehilangan hakikatnya dan penerapannya dalam keseharian Indonesia, khususnya rakyat. Apa yang diharapkan rakyat dari pemerintah dan tujuan negara ini semakin hari semakin tidak menentu. Konsep dan makna dari Pancasila dan undang-Undang Dasar dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di Indonesia.
Pada awalnya seluruh rakyat memuji dan mengagungkan negara Indonesia sebagai negara Pancasila. Kebanggaan ini muncul karena konsep-konsep, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUd-nya ,dan visi negara ini sangat relevan dan tetap aktual dari masa ke masa. Kekuatan ini diakui juga oleh beberapa negara dunia. Tetapi sekali lagi, pelaksanaannya sangat memilukan dan tidak relevan dengan   kelebihan-kelebihan yang dibangga-banggakan negara ini. Hal itu terjadi sampai saat ini. Kita dapat melihat dan menilai hubungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara ini dengan realitas yang terjadi. Apakah praktek Pancasila menyentuh dan diamalkan oleh seluruh warga negara Indonesia ? sebagian kecil saja ! Lalu, dari ke-tidakmerata-an yang demikian siapakah yang harus dipersalahkan ? Hal senada terjadi juga dalam praktek Undang-Undang Dasar negara ini.
Ada beberapa undang-undang Dasar negara Indonesia yang dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan tujuan dan tugas asalnya :
1.      UUd pasal 27 ayat 1 tentang menjunjung tinggi hukum negara.
2.      UUD pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama.
3.      UUD pasal 31 ayat 1 tentang hak mendapat pendidikan.
4.      UUD pasal 33 ayat 3 tentang hasil bumi untuk kemakmuran rakyat.
5.      UUD pasal 34 tentang pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar.

Melihat makna kelima undang-undang tersebut tampak tetap aktual sebab menyangkut seluruh aspek kehidupan rakyat Indonesia sampai sekarang. Tetapi yang menjadi persoalannya ialah apakah undang-undang tersebut dirasakan secara merata oleh rakyat atau tidak ? hanya dua kata yang bisa saya sampaikan : sangat tidak ! Itulah fakta yang terjadi sampai sekarang di negara ini. Dalam hal ini juga siapakah yang patut dipersalahkan ? Tentu akan banyak yang mempersalahkan pemerintah karena mereka memerintah tidak dengan semestinya. Dari vonis tersebut hal yang mau ditunjukkan kepada kita ialah republik Indonesia yang dirintis, diperjuangkan, dan diproklamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita; tidak untuk memberikan nikmat yang lebih banyak kepada rakyat ( Sularto, 1999 : 38 ).
Adanya praktek-praktek negara Indonesia yang demikian menunjukkan bahwa  makna Pancasila dan Undang-Undang dasar di negara ini telah luntur. Penyebab lunturnya makna   “ kedua aset yang sangat berharga “  ini sebagian besar adalah para elite politik. merekalah perlaku kriminalnya. Maka,  jangan heran kalau rakyat sudah dan  akan tidak percaya lagi terhadap kinerja pemerintah selama ini. Sikap tersebut adalah keharusan bagi rakyat dan wajar adanya karena sesungguhnya rakyatlah yang berkuasa atas terbentuknya negara ini. Kelahiran negara bukan dari pemerintah tetapi dari rakyat. Tanpa rakyat adakah negara indonesia ? Pemerintah yang tidak pro-rakyat akan mengkontribusikan ancaman terhadap keutuhan NKRI.



Indonesia di masa depan : potensi terancamnya keutuhan Indonesia dan solusinya

Undang-Undang Dasar negara Indonesia merumuskan dengan sangat baik dan relevan dasar-dasar kehidupan bangsa. Hampir semua nilai yang selalu aktual tercantum di sana mulai dari aspek sosial,budaya, politik, HanKam., sampai dengan aspek keagamaan. Tetapi, sekali lagi, bahwa jika dalam pelaksanaannya tidak berpihak pada rakyat dan pemerintah terkesan membiarkannya maka tanda bahaya akan hadir di Indonesia. : primordialisme, diskriminasi, eksklusivisme, rakyat memberontak, teroris, anarkis dan lain-lain. Akan lebih bahaya kalau sampai dengan keinginan pulau dan daerah memisahkan diri dari Indonesia. Gejala-gejala ini telah dan sedang bergerak secara pelan tetapi pasti. Dengan ini kesatuan NKRI menjadi taruhannya.
Masa depan rakyat Indonesia secara eksklusif  semata-mata terletak di dalam bentuk
suatu pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya., karena hanya bentuk pemerintahan seperti itu saja yang dapat diterima oleh rakyat ( Reksosusilo, C.M., 2007 : 74 ).
            Oleh sebab itu ada beberapa kewajiban dari pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan rakyat, yaitu :
1.      Kekuatan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarang karena hukum kodrat masih berlaku.
2.      Kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan.
3.      Pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak.
4.      Kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.
5.      undang-undang harus menjamin agar kekuatan politik digunakan bagi kepentingan umum ( John Locke, 2002 : 13 ).
Dengan berpegang pada kewajiban itu maka kedaulatan pada akhirnya berada pada rakyat tetapi diberikan kepada wakil-wakil rakyat secara legiti dapat menjalankan fungsi-fungsi negara ( John Locke, 2002 : 15 ).

penutup
penyimpangan praktek politik di negara Indonesia selalu merugikan rakyat. Penyimpangan ini berimbas hampir pada berbagai aspek : sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Rakyat selalu menjadi korban ketidakadilan pemerintah. Tujuan dan makna Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai ideologi dan dasar negara tidak berpihak pada mereka. Mereka tidak pernah merasakan kesejahteraan dari pemilu. Kalau pun ada hanya pada kelompok-kelompok dan daerah-daerah tertentu. Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan dari rakyat sering tidak dipedulikan , ditindaklanjuti, apalagi direalisasikan. Rakyat bosan dan sakit hati karena dibohongi terus-menerus. Mereka kecewa. Munculnya eksklusivisme, primordialisme, anarkis, dan masalah lainnya disebabkan oleh keteledoran dan ketidaktegasan  pemerintah. Diskredibilitas terhadap pemerintah pun akhirnya timbul dalam diri rakyat. Dari reaksi rakyat ini ada sesuatu yang harus dan perlu dikhawatirkan oleh pemerintah, yaitu keutuhan NKRI akan terancam. Kekhawatiran ini bisa saja terjadi kalau pemerintah dari tahun ke tahun tidak mau bertobat dari kebobrokannya, tetap mempertahankan disorientasi tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, dan tidak ada tekad untuk  mengusahakan secara terus-menerus integrasi Indonesia : sosial,budaya, ekonomi, politik, HanKam., penduduk, sumber daya alam, dan wilayah. Maka, untuk menghindari agar hal itu tidak terjadi pemerintah beserta birokrasinya diberikan kesempatan memperbaiki diri, berpolitik sesuai dengan orientasinya, dan tidak mengecewakan rakyat.


Daftar pustaka

Gunawan setiardja, A., Prof., Dr. Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila. Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Jawa pos, bakar kantor bupati, bebaskan lima puluh tiga tahanan, jumat, 27 januari 2012, hlm. 1 & 19 kol. 2.
-----------, bentrok berdarah pecah di solo, sabtu, 5 Mei 2012, hlm. 1 & 19 kol. 2
Locke, John. Kuasa itu milik rakyat : an essay concerning the true original, extent and end of civil government dalam two treatises of civil government, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta : Kanisius, 2002.
Reksosusilo, S., Dr., C.M. filsafat wawasan nusantara. Malang : Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2007.
Sularto, St. Refleksi agenda reformasi : membangun masyarakat madani. Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Uyub, dominikus. “ Lintas Agama lawan SBY “, Kalimantan Review, Februari 2011, hlm. 64-65.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar