diskredibilitas rakyat : ancaman bagi keutuhan NKRi
oleh : elias jeksen
pendahuluan
melihat
berbagai peristiwa dan kasus yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir
sampai sekarang menegaskan bahwa Indonesia sedang mengalami disorientasinya
sebagai negara. Peristiwa dan kasus yang terjadi, seperti kerusuhan, budaya korupsi,
persaingan politik, skandal seks para elit politik, ketidak-tegasan pemerintah,
ketidakadilan dan lain-lain, selalu mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia.
Hal ini kerap membuat miris bagi orang yang menyaksikan dan mendengarnya dan
terlebih membuat para pengamat politik sangat prihatin dengan keadaan Indonesia
dan model pemerintahannya. Kasus-kasus seperti ini tentu menjadi batu sandungan
bagi rakyat yang menaruh banyak harapan pada negara untuk menyejahterakan,
melindungi dan memimpin mereka kepada
kehidupan bangsa yang berkembang dan maju, terutama menuju model negara Indonesia
yang dicita-citakan.
Berbagai peristiwa yang telah dan
sedang terjadi di Indonesia menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh
Indonesia sendiri. Apalagi ke-tidakberes-annya ini kerap mengarah pada pemerintah
dan jajarannya. Tentu ketidakberesannya ini selalu berhubungan dengan peranan
dan kinerja pemerintah bagi kemajuan negara Indonesia dan rakyatnya. Hal ini
juga telah dan sedang berdampak pada rakyatnya sehingga rakyat pun ikut
menjadi “tidak beres“ . “Ke-tidakberes-an“ rakyat ini
sebagai tanggapan atas ke-tidakberes-an pemerintah. Maka, dengan hadirnya “ ke-tidakberes-an
“ rakyat, “ ke-tidakberes-an “ Indonesia menjadi semakin kompleks.
Kompleksitas “ke-tidakberes-an“ yang terjadi
di Indonesia kalau tidak mampu menemukan solusi yang tepat akan menumbuhkan
keadaan Indonesia yang lebih parah lagi. Gambaran Indonesia yang demikian dapat
dibandingkan dengan orang yang terkena penyakit tumor yang bila tidak dikontrol
dan terkesan membiarkannya tumor akan semakin membesar dan menyebabkan orang
tersebut sakit. Jika sudah dalam keadaan akut maka pilihan untuk bertahan hidup
semakin kecil dan pilihan berpindah ke alam maut semakin besar. Indonesia akan
demikian juga. Jika negara ini sudah mengandung “penyakit“ dan terkesan
membiarkan “penyakitnya“ ini berkembang, maka yang terjadi adalah negara akan
“sakit” bahkan akan berpotensi menjadi “akut”. maka timbullah pertanyaan : mengapa muncul ke-tidakberes-an di dalam
sistem pemerintahan Indonesia dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? mengapa rakyat ikut “tidak beres“ dan
apa yang akan terjadi selanjutnya ? bagaimana
dampaknya bagi Indonesia di masa depan ? Inilah beberapa pertanyaan yang akan
dijawab pada pembahasan selanjutnya.
diskredibilitas terhadap Pemerintah hadir
di dalam rakyat
Setiap orang pasti merasa gerah
dan sakit hati kalau orang yang berjanji terus menerus mengingkari janjinya.
Satu dua kali janji itu diingkari mungkin bisa ditolerir tetapi kalau
keseringan bisakah itu ditolerir ? mungkin
sulit dan itu benar adanya. Kemudian dari sini akan muncul sikap yang awalnya
kredibel menjadi diskredibel akan janji orang tersebut. Kalau sudah terjadi
demikian ini tanda bahaya karena dapat melahirkan diskredibilitas yang
berkepanjangan dan terjadinya kesenjangan relasi keduanya. Apa yang akan
terjadi selanjutnya bisa saja memunculkan potensi disconnected dengan si pembohong.
Ilustrasi di atas juga
menggambarkan fakta yang telah dan sedang terjadi di negara Indonesia yang
tercinta ini. Model pemerintahan Indonesia yang bersistemkan demokrasi (Yun. Demos = rakyat, cratein = pemerintahan ) sampai saat ini menyimpang jauh dari
pengertian dan tujuan aslinya. Akibatnya
pelaksanaan sistem pemerintahan bergerak menuju disfungsional. Buktinya banyak
program-program dari pemerintah yang tidak terlaksana, terlantar,dan kalau
beroperasi pun terkesan asal-asalan sebab yang mereka inginkan dari banyaknya
program yang dicanangkan ialah “ gaji plus-plus
“.
Para elite politik sekarang
sangat sulit disadarkan kembali kepada orientasi kerjanya sebagai wakil rakyat.
Tugas dan tanggung jawab yang mereka emban sebagian besar sering kali dibiarkan
begitu saja karena itu bukanlah tujuan mereka terpilih sebagai wakil rakyat.
Tujuan mereka ialah mengejar kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Janji-janji
yang mereka kumandangkan sewaktu mencalonkan diri hilang begitu saja. Demikian
juga sumpah yang mereka ikrarkan setelah terpilih. Mungkin hanya sedikit orang
yang benar-benar mengusahakan apa yang pernah ia janjikan kepada rakyat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar agenda para wakil rakyat yang
terpilih selanjutnya ialah mencari status yang lebih tinggi dan memperkayakan
diri sepuas-puasnya selagi ada kesempatan. Akibatnya rakyat yang tidak tahu
apa-apa dan percaya dengan “ pembodohan “ mereka ditelantarkan begitu saja.
Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan rakyat yang “ berteriak “ di kantor
mereka masing-masing “diputuskan “ begitu saja agar tidak terdengar dan
mengganggu “ kesenangan “ mereka. Masa bodoh dengan apa yang terjadi pada
rakyat. terserah ! asalkan mereka sudah nyaman sekarang.
Maka, terjadilah keprihatinan yang mendalam : kekuasaan dan kedaulatan rakyat
telah diperkosa oleh “ buaya-buaya politik “.
Jika kekuasaan dan kedaulatan
rakyat dirampas dan diperkosa para elite politik apa yang akan terjadi ?
Diskredibilitas ! ya, akan lahir
diskredibilitas terhadap pemerintah. Diskredibilitas rakyat ini kemudian
meng-kontribusi-kan kekecewaan yang mendalam. itulah
yang kemudian menjadi penyebab rakyat marah sebab pelayanan, perlindungan,
kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran tidak lagi berpihak pada mereka. Oleh
karena itu mereka sebisanya melawan pemerintah meskipun hukum “lari“ kepada
para elite politik. Saya akan memberikan beberapa contoh riil untuk membuktikan
fakta yang demikian benar adanya. Pertama,
para tokoh lintas agama yang ada di Jakarta mengadakan perlawanan terhadap SBY karena telah
berbohong kepada publik. Kebohongan ini meliputi sembilan kebohongan lama dan
sembilan kebohongan baru ( KR : Kalimantan Review, edisi Maret 2011 : 13 ). Kedua, pembakaran kantor bupati
di Bima, NTT oleh massa yang terkait dengan tidak adanya jawaban dari
pemerintah daerah atas tuntutan warga setempat ( Jawa Pos, Jumat, 27 Januari
2012 : 1 ). Ketiga, kekesalan warga
terhadap aparat keamanan yang terkesan membiarkan pada bentrokan berdarah antara warga setempat dan sebuah ormas di Solo
( Jawa Pos, Sabtu, 5 Mei 2012 : 1 ).
Beberapa contoh nyata di atas
menunjukkan dengan jelas kepada kita adanya pertentangan dengan fungsi Indonesia
sebagai negara demokrasi yang ideal. Di
sini hal yang mau ditegaskan ialah dalam sebuah negara yang baik kelompok
pemegang kekuasaan itu haruslah kecil. “penegak
hukum“ harus memiliki kuasa dan jumlahnya yang lebih besar dan kekuasaan
terbesar ada dalam tangan rakyat melalui wakil-wakilnya. Di Indonesia
keadaannya terbalik. Pemegang kekuasaan jumlahnya kecil tetapi kekuasaannya
amat besar. sedangkan penegak hukum, kekuasaannya tergantung dan
kalah kuatnya dari si penguasa dan rakyat tak berkuasa sama sekali. Dalam
keadaan seperti inilah banyak usaha pembangunan tidak menyentuh kebutuhan
rakyat, apalagi kebutuhan kelompok minoritas (S. Reksosusilo, C.M., 2007 : 77
).
Makna dan tujuan Pancasila beserta UUD negara Indonesia semakin
luntur
Kekacauan, disorientasi dan
disfungsional dari kinerja para elite politik untuk memajukan sistem
pemerintahan Indonesia membuat makna Pancasila sebagai ideologi negara menjadi
absurd. Undang-Undang Dasar yang merupakan hasil rumusan Pancasila menjadi
kehilangan hakikatnya dan penerapannya dalam keseharian Indonesia, khususnya
rakyat. Apa yang diharapkan rakyat dari pemerintah dan tujuan negara ini
semakin hari semakin tidak menentu. Konsep dan makna dari Pancasila dan undang-Undang Dasar dalam
pelaksanaannya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di Indonesia.
Pada awalnya seluruh rakyat
memuji dan mengagungkan negara Indonesia sebagai negara Pancasila. Kebanggaan
ini muncul karena konsep-konsep, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila
dan UUd-nya ,dan visi negara ini
sangat relevan dan tetap aktual dari masa ke masa. Kekuatan ini diakui juga
oleh beberapa negara dunia. Tetapi sekali lagi, pelaksanaannya sangat memilukan
dan tidak relevan dengan kelebihan-kelebihan
yang dibangga-banggakan negara ini. Hal itu terjadi sampai saat ini. Kita dapat
melihat dan menilai hubungan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara ini
dengan realitas yang terjadi. Apakah praktek Pancasila menyentuh dan diamalkan
oleh seluruh warga negara Indonesia ? sebagian kecil saja ! Lalu, dari
ke-tidakmerata-an yang demikian siapakah yang harus dipersalahkan ? Hal senada
terjadi juga dalam praktek Undang-Undang Dasar negara ini.
Ada beberapa undang-undang Dasar negara Indonesia yang dalam pelaksanaannya tidak
sesuai dengan tujuan dan tugas asalnya :
1. UUd pasal 27 ayat 1 tentang menjunjung
tinggi hukum negara.
2. UUD
pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama.
3. UUD
pasal 31 ayat 1 tentang hak mendapat pendidikan.
4. UUD
pasal 33 ayat 3 tentang hasil bumi untuk kemakmuran rakyat.
5. UUD
pasal 34 tentang pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak yang terlantar.
Melihat makna kelima undang-undang
tersebut tampak tetap aktual sebab menyangkut seluruh aspek kehidupan rakyat
Indonesia sampai sekarang. Tetapi yang menjadi persoalannya ialah apakah
undang-undang tersebut dirasakan secara merata oleh rakyat atau tidak ? hanya dua kata yang bisa saya sampaikan
: sangat tidak ! Itulah fakta
yang terjadi sampai sekarang di negara ini. Dalam hal ini juga siapakah yang
patut dipersalahkan ? Tentu akan banyak yang mempersalahkan pemerintah karena
mereka memerintah tidak dengan semestinya. Dari vonis tersebut hal yang mau
ditunjukkan kepada kita ialah republik Indonesia yang dirintis, diperjuangkan,
dan diproklamasikan justru untuk membela dan mengangkat the underdogs bangsa kita; tidak untuk memberikan nikmat yang lebih
banyak kepada rakyat ( Sularto, 1999 : 38 ).
Adanya praktek-praktek negara Indonesia
yang demikian menunjukkan bahwa makna
Pancasila dan Undang-Undang dasar
di negara ini telah luntur. Penyebab lunturnya makna “ kedua aset yang sangat berharga “ ini sebagian besar adalah para elite politik.
merekalah perlaku kriminalnya.
Maka, jangan heran kalau rakyat sudah
dan akan tidak
percaya lagi terhadap kinerja pemerintah selama ini. Sikap tersebut adalah
keharusan bagi rakyat dan wajar adanya karena sesungguhnya rakyatlah
yang berkuasa atas terbentuknya negara ini. Kelahiran negara bukan dari pemerintah tetapi dari rakyat.
Tanpa rakyat adakah negara indonesia ? Pemerintah yang tidak pro-rakyat akan mengkontribusikan ancaman terhadap keutuhan
NKRI.
Indonesia di
masa depan : potensi terancamnya keutuhan Indonesia dan solusinya
Undang-Undang Dasar negara Indonesia
merumuskan dengan sangat baik dan relevan dasar-dasar kehidupan bangsa. Hampir
semua nilai yang selalu aktual tercantum di sana mulai dari aspek
sosial,budaya, politik, HanKam., sampai dengan aspek keagamaan. Tetapi, sekali
lagi, bahwa jika dalam pelaksanaannya tidak berpihak pada rakyat dan pemerintah
terkesan membiarkannya maka tanda bahaya akan hadir di Indonesia. :
primordialisme, diskriminasi, eksklusivisme, rakyat memberontak, teroris,
anarkis dan lain-lain. Akan lebih bahaya kalau sampai dengan keinginan pulau
dan daerah memisahkan diri dari Indonesia. Gejala-gejala ini telah dan sedang
bergerak secara pelan tetapi pasti. Dengan ini kesatuan NKRI menjadi
taruhannya.
Masa depan rakyat Indonesia secara
eksklusif semata-mata terletak di dalam
bentuk
suatu pemerintahan yang bertanggung
jawab kepada rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya., karena hanya bentuk
pemerintahan seperti itu saja yang dapat diterima oleh rakyat ( Reksosusilo,
C.M., 2007 : 74 ).
Oleh
sebab itu ada beberapa kewajiban dari pemerintah yang harus dipegang untuk
menjamin fungsi pemerintahan demi kepentingan rakyat, yaitu :
1.
Kekuatan legislatif tidak boleh
digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarang karena hukum
kodrat masih berlaku.
2.
Kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa
pertimbangan.
3.
Pemerintah tidak boleh mengambil hak
milik orang tanpa persetujuan; hal ini berlaku pula bagi pajak.
4.
Kekuasaan legislatif tidak dapat
dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi
wakil rakyat.
5.
undang-undang
harus menjamin agar kekuatan politik digunakan bagi kepentingan umum ( John
Locke, 2002 : 13 ).
Dengan berpegang pada kewajiban
itu maka kedaulatan pada akhirnya berada pada rakyat tetapi diberikan kepada
wakil-wakil rakyat secara legiti dapat menjalankan fungsi-fungsi negara ( John
Locke, 2002 : 15 ).
penutup
penyimpangan
praktek politik di negara Indonesia selalu merugikan rakyat. Penyimpangan ini
berimbas hampir pada berbagai aspek : sosial, budaya, ekonomi, pendidikan,
pertahanan dan keamanan. Rakyat selalu menjadi korban ketidakadilan pemerintah.
Tujuan dan makna Pancasila dan Undang-Undang Dasar sebagai ideologi dan dasar
negara tidak berpihak pada mereka. Mereka tidak pernah merasakan kesejahteraan
dari pemilu. Kalau pun ada hanya pada kelompok-kelompok dan daerah-daerah
tertentu. Keluhan-keluhan dan tuntutan-tuntutan dari rakyat sering tidak dipedulikan
, ditindaklanjuti, apalagi direalisasikan. Rakyat bosan dan sakit hati karena
dibohongi terus-menerus. Mereka kecewa. Munculnya eksklusivisme,
primordialisme, anarkis, dan masalah lainnya disebabkan oleh keteledoran dan
ketidaktegasan pemerintah. Diskredibilitas
terhadap pemerintah pun akhirnya timbul dalam diri rakyat. Dari reaksi rakyat
ini ada sesuatu yang harus dan perlu dikhawatirkan oleh pemerintah, yaitu
keutuhan NKRI akan terancam. Kekhawatiran ini bisa saja terjadi kalau
pemerintah dari tahun ke tahun tidak mau bertobat dari kebobrokannya, tetap
mempertahankan disorientasi tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, dan tidak
ada tekad untuk mengusahakan secara
terus-menerus integrasi Indonesia : sosial,budaya,
ekonomi, politik, HanKam., penduduk, sumber daya alam, dan wilayah. Maka, untuk
menghindari agar hal itu tidak terjadi pemerintah beserta birokrasinya
diberikan kesempatan memperbaiki diri, berpolitik sesuai dengan orientasinya,
dan tidak mengecewakan rakyat.
Daftar pustaka
Gunawan
setiardja, A., Prof., Dr. Hak-hak
asasi manusia berdasarkan
ideologi Pancasila.
Yogyakarta : Kanisius, 1993.
Jawa pos, bakar kantor
bupati, bebaskan lima puluh tiga
tahanan, jumat, 27 januari 2012, hlm. 1 & 19 kol. 2.
-----------,
bentrok
berdarah pecah di solo,
sabtu, 5 Mei 2012, hlm. 1 &
19 kol. 2
Locke,
John. Kuasa itu milik rakyat
: an
essay concerning the true
original, extent and end
of civil government dalam two treatises
of civil government, terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta : Kanisius,
2002.
Reksosusilo,
S., Dr., C.M. filsafat wawasan
nusantara. Malang : Pusat
Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2007.
Sularto,
St. Refleksi agenda reformasi
: membangun masyarakat madani. Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Uyub,
dominikus. “ Lintas Agama lawan SBY “, Kalimantan Review, Februari 2011, hlm. 64-65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar