11/07/2014

TANTANGAN DALAM HIDUP MEMBIARA

TANTANGAN DALAM HIDUP MEMBIARA

A.    Pengantar
Ada banyak tantangan yang dialami dalam hidup membiara. Dalam “kemapanannya” hidup membiara ternyata memiliki banyak kesulitan. Dari dunia luar mereka tampak bersaudara dan mencerminkan sebuah keharmonisan tetapi di dalam dunianya sendiri terdapat banyak persoalan yang dialami dan yang mengintip untuk ditampakkan. Tentu ada faktor penyebabnya. Dapat dipastikan faktor itu ialah faktor internal dan faktor eksternal. Sebenarnya ada begitu banyak faktor internal dan eksternal kalau mau disingkapkan semua. Tetapi dalam tulisan ini faktor-faktor tersebut akan dijelaskan sebagian saja. Kiranya faktor-faktor yang sebagian itu dapat mewakili yang lainnya.

B.     Tantangan dari Dalam (Intern)
1.      Sehubungan dengan ketaatan
Ketaatan dalam hidup membiara memang merupakan hal yang pelik. Hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan. Dalam hidup berkomunitas mungkin kaul ketaatan adalah tantangan terbesar daripada kedua kaul yang lain. Penulis berani mengatakan demikian berdasarkan banyak fakta yang kita dengar atau lihat sendiri. Tetapi ini bergantung pada tiap-tiap pribadi bagaimana sikapnya terhadap kaul ketaatan tersebut: mensyukuri atau sulit mensyukuri.
Ketaatan menjadi sebuah tantangan ketika seorang religius memang sulit mensyukurinya. Ia merasa tertekan dengan beban yang mengikat sebab ia tidak bisa bertindak sesukanya. Ini kerap menyakitkannya sebab hampir segalanya harus minta izin kepada piko (pimpinan komunitas). Di sini iaharus menuruti kehendak piko-nya. Ia merasa terjajah meskipun pandangan dari piko-nya benar. Ia semakin terjajah ketika harus taat pada anggota komunitas yang dituakan (dekan). Apalagi orangnya lebih muda dan tidak suka atau tidak akrab dengannya. Terlebih kalau ia juga memiliki kedudukan penting di komunitas. Kalau tidak ada kerendahan hati, seorang religius akan jatuh pada egoisme. Maka dapat disimpulkan bahwa ketaatannya bukan kepada kehendak Allah.
Tantangan seperti ini sebenarnya muncul karena dirinya sendiri. Ia tidak mempertimbangkan dengan matang konsekuensi kaul ketaatan yang ia ikrarkan kepada Tuhan, tarekatnya, dan kehidupan berkomunitas yang ia jalani. Ketaatan menjadi sulit juga karena ia tidak berakar pada proses ketaatan Yesus dan Maria yang menjadi titik tolak dari ketaatan religius.
Hal lain yang menjadikan ketaatan itu menjadi persoalan ialah berhubungan dengan kepemimpinan pemimpin komunitas. Pemimpin komunitas kerap memaksakan kehendaknya untuk ditaati oleh anggotanya apakah itu benar atau salah, bukannya taat kepada kehendak Tuhan. Pemimpin hanya menjadi otoriter dan asal menyuruh. Inilah yang kerap membuat anggota kecewa dan kurang dihargai. Harus diakui bahwa proses ketaatan seperti itu tidak berjalan menurut proses di alam demokrasi sekarang.
Para pemimpin komunitas hendaknya belajar dari ketaatan Yesus dan Maria.Di sana ada dialog antara Tuhan dan manusia, ada penjelasan, dan ada keputusan. Di sini jelas bahwa proses ketaatan mengandaikan dialog antara pemimpin dan anggota (Suparno, 2007:169-172). Maka melihat dua perbedaan di atas seorang religius harus berani mengambil keputusan bahwa kita taat bukan kepada kehendak pemimpin komunitas melainkan kepada regula dan konstitusi di mana Allah menyatakan kehendak-Nya. Taat kepada pimpinan komunitas sejauh kehendaknya sehaluan apa yang digariskan oleh regula dan konstitusi tarekat (Ridick, 1987:179).

2.      Aneka perbedaan
Komunitas dalam hidup membiara pertama-tama adalah kelompok manusia. Namun mereka adalah kelompok manusia yang mengkhususkan diri pada tujuan mulia, yakni menjadi pelayan Tuhansecara khusus, yang memiliki misi mengantar manusia pada Allah. Hidup mereka adalah hidup yang penuh cinta kasih dan persaudaraan (bdk. Kis.4:32), yang mendasarkan model hidupnya pada hidup Yesus dan para murid (bdk. Yoh. 13:34-35). Bahkan ada yang mengatakan bahwa hidup membiara merupakan gambaran hidup para malaikat di surga (nilai esktatologis).
Terlepas dari pengertian singkat mengenai hidup membiara di atas, mereka bukanlahmanusia super. Mereka sama dengan yang lainnya, yakni sebagai manusia yang memiliki kelemahan (unsur duniawi). Sebagai manusia yang lemah mereka tetap memiliki persoalan dan tantangan dalam hidup membiara.
Dalam hidup membiara ada banyak anggota yang terpanggil dari berbagai daerah. setiap daerah tentu melahirkan manusia dengan kekhasannya masing-masing. Di sinilah tantangan itu kerap ditemukan dan dialami dalam hidup membiara ketika semuanya membaur menjadi satu. Adapun kekhasan (perbedaan) yang kerap menjadi persoalan ialah watak dan kepribadian seorang religius, latar belakang keluarganya dan status sosial, kebudayaan dan riwayat hidupnya, bahkan intelektualitas. Namun semua perbedaan itu disatukan dalam proses pembinaan sehingga secara pelan tetapi pasti menjadi “harta” yang melimpah bagi hidup membiara karena hidup mereka diperkaya dan dilengkapi oleh satu sama lain.

3.      Komunitas dalam komunitas
Persoalan lain yang hadir dalam hidup berkomunitas ialah menyangkut pergaulan antar anggotanya. Walaupun hidup membiara sudah dianugerahi “harta yang berharga”, yang diperoleh dari tiap-tiap anggotanya, tetap saja kekayaannya melahirkan sebuah persoalan baru, yakni komunitas dalam komunitas. Artinya, dalam sebuah komunitas biara terdapat perkumpulan orang atau anggotanya yang tidak hanya kerap didominasi oleh satu daerah tetapi juga dari berbagai daerah yang memiliki kecocokan satu sama lain. Di sini akan terjadi politik balas budi dan saling ketergantungan antar anggotanya.
Komunitas ini dikategorikan bernada negatif karena kerap memunculkan masalah. Kepedulian terhadap anggota lain yang tidak termasuk perkumpulan mereka kerap diabaikan. Jika terjadi perselisihan, entah kecil atau besar, dengan anggota yang di luar kelompok mereka, walaupun mereka salah, akan tetap mendapat dukungan dari kelompoknya (akibat sikap saling ketergantungan dan politik balas budi). Sedangkan seorang anggota yang benar tadi tidak mendapat dukungan. Akibatnya ia merasa kecewa dan mulailah saling membangun tembok dalam sebuah komunitas. Akhirnya keretakan dalam komunitas pun terjadi dan komunitas pun menjadi sakit (bdk. 1Kor.12 :14-27). Padahal, tujuan terdalam hidup berkomunitas ialah tumbuh dalam cinta, yakni cinta kepada diri sendiri, kepada Allah dan kepada sesama (KOPTARI, 2008 : 27).

4.      Individualis
Masalah berikut ini ada kemungkinan salah satu akar terjadinya dari komunitas yang sakit. Ketika keretakan mulai terjadi dalam komunitas, seorang religius mulai menghindar, menarik diri dari yang lain, karena merasa dikecewakan, marah atau sakit hati.Akibatnya orang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa peduli dengan yang lainnya (egoisme)(Ridick, 1987: 207). Di sisi lain ada kemungkinan seorang religius terperangkap dalam permusuhan sehingga ia menjadi pribadi yang berjiwa musuh (murung tak menentu, minder, terus merasa khawatir, merasa lebih “super” dan serba mengeluh) (Agudo, 1988 : 152-154).

C.    Tantangan dari Luar (Ekstern)
Dulu mungkin tantangan religius dari luar tidak begitu kentara karena waktu mereka banyak dihabiskan di dalam biara. Sekarang zaman berubah dan tantangan begitu hebat menghantam dan mengejar. Apalagi sekarang kita hidup di abad dunia modern yang penuh dengan sekularisme, hedonisme dan konsumerisme. Hampir di seluruh dunia manusia terjebak di dalamnya, tak terkecuali para religius. Ditambah lagi dengan hadirnya internet yang menyediakan berbagai informasi:dari yang terjadi pada masa lampau sampai yang up to date, dari yang bermoral sampai amoral, dan seterusnya. Kehadiranfacebook, twitter, dan media komunikasi lainnya juga membuka kesempatan untuk mencari Maria atau Yesus yang lain dan darinya berkesempatan juga memupuk kekayaan sendiri.Efek dari perkembangan teknologi dapat menjadi tantangan bagi ketiga kaul religius (kemurnian kemiskinan, dan ketaatan)saat ini dan di masa mendatang (bdk. KWI, 1996 : 134-135).

D.    Kesimpulan
benarbahwa hidup membiara itu hidup dalam persaudaraan cinta kasih. Tidak salah jika orang mengalamatkannya sebagai gambaran kehidupan di surga (nilai eskatologis). Itu memang idealnya dan bahkan merupakan cita-cita yang harus diwujudkan (absolut). Tetapi itu tidak mudah. Untuk mencapai bentuk kehidupan seperti itu butuh proses yang berkesinambungan. Hidup membiara perlu dibangun tahap demi tahap,sebab hidup membiara penuh dengan pergulatan yang terus berlangsung (banyak tantangannya).karena itu tidak salah kalau dikatakan bahwa hidup membiara itu hidup penuh dengan konflik (positif). Namun konflik yang terjadi harus disadarisebagai tahap atau proses menuju cita-cita hidup membiara.Di sini segala sisi kegelapan hidup yang tersembunyi di hati kita menjadi nyata kelihatan. Ketika mengalami kehilangan, konflik, dan “kematian” di sini juga kebangkitan itu dialami. Singkatnya, sisi kehidupan seorang religius yang gelap diubah menjadi terang dan diarahkan pada kehidupan yang penuh cinta kasih (Nouwen dkk., 1998: 18-20). Tetapi proses ini akan terwujud jika setiap anggota saling mendengarkan, terbuka, mampu menerima dirinya, mau meninggalkan manusia lamanya, saling membangun dan saling menghargai tiap pribadi. Sikap ini harus dipertahankan terus menerus. Dengan demikian hidup persaudaraan dalam cinta kasih dengan sendirinya akan terwujud.



daftar pustaka

Agundo, Philomena. Aku Memilih Engkau. Yogyakarta: Kanisius,1988.
KOPTARI. Membangun Komunitas Persaudaraan.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
KWI. Vita Consecrata. Terj. R. Hardawirjana, S.J. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1996.
Nouwen, Henri J.M. dan Jean Vanier. Komunitas alternatif: Hidup Bersama Menebarkan Kasih. Ed. Mgr. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Suparno, Paul. Saat jubah bikin gerah. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

1 komentar:

  1. Why casinos are rigged - Hertzaman - The Herald
    In the UK, casino games are rigged and there https://septcasino.com/review/merit-casino/ is apr casino evidence of fraud, crime herzamanindir or 도레미시디 출장샵 disorder or wooricasinos.info an individual's involvement. There are also many

    BalasHapus