TANTANGAN DALAM HIDUP MEMBIARA
A. Pengantar
Ada banyak tantangan
yang dialami dalam hidup membiara. Dalam “kemapanannya” hidup membiara ternyata
memiliki banyak kesulitan. Dari dunia luar mereka tampak bersaudara dan
mencerminkan sebuah keharmonisan tetapi di dalam dunianya sendiri terdapat
banyak persoalan yang dialami dan yang mengintip untuk ditampakkan. Tentu ada
faktor penyebabnya. Dapat dipastikan faktor itu ialah faktor internal dan
faktor eksternal. Sebenarnya ada begitu banyak faktor internal dan eksternal
kalau mau disingkapkan semua. Tetapi dalam tulisan ini faktor-faktor tersebut
akan dijelaskan sebagian saja. Kiranya faktor-faktor yang sebagian itu dapat
mewakili yang lainnya.
B. Tantangan dari Dalam (Intern)
1.
Sehubungan
dengan ketaatan
Ketaatan dalam
hidup membiara memang merupakan hal yang pelik. Hal ini tidak mudah untuk
dilaksanakan. Dalam hidup berkomunitas mungkin kaul ketaatan adalah tantangan
terbesar daripada kedua kaul yang lain. Penulis berani mengatakan demikian
berdasarkan banyak fakta yang kita dengar atau lihat sendiri. Tetapi ini
bergantung pada tiap-tiap pribadi bagaimana sikapnya terhadap kaul ketaatan
tersebut: mensyukuri atau sulit mensyukuri.
Ketaatan menjadi
sebuah tantangan ketika seorang religius memang sulit mensyukurinya. Ia merasa
tertekan dengan beban yang mengikat sebab ia tidak bisa bertindak sesukanya.
Ini kerap menyakitkannya sebab hampir segalanya harus minta izin kepada piko
(pimpinan komunitas). Di sini iaharus menuruti kehendak piko-nya. Ia merasa
terjajah meskipun pandangan dari piko-nya benar. Ia semakin terjajah ketika
harus taat pada anggota komunitas yang dituakan (dekan). Apalagi orangnya lebih
muda dan tidak suka atau tidak akrab dengannya. Terlebih kalau ia juga memiliki
kedudukan penting di komunitas. Kalau tidak ada kerendahan hati, seorang
religius akan jatuh pada egoisme. Maka dapat disimpulkan bahwa ketaatannya
bukan kepada kehendak Allah.
Tantangan
seperti ini sebenarnya muncul karena dirinya sendiri. Ia tidak mempertimbangkan
dengan matang konsekuensi kaul ketaatan yang ia ikrarkan kepada Tuhan, tarekatnya,
dan kehidupan berkomunitas yang ia jalani. Ketaatan menjadi sulit juga karena
ia tidak berakar pada proses ketaatan Yesus dan Maria yang menjadi titik tolak
dari ketaatan religius.
Hal lain yang
menjadikan ketaatan itu menjadi persoalan ialah berhubungan dengan kepemimpinan
pemimpin komunitas. Pemimpin komunitas kerap memaksakan kehendaknya untuk
ditaati oleh anggotanya apakah itu benar atau salah, bukannya taat kepada
kehendak Tuhan. Pemimpin hanya menjadi otoriter dan asal menyuruh. Inilah yang
kerap membuat anggota kecewa dan kurang dihargai. Harus diakui bahwa proses
ketaatan seperti itu tidak berjalan menurut proses di alam demokrasi sekarang.
Para pemimpin
komunitas hendaknya belajar dari ketaatan Yesus dan Maria.Di sana ada dialog
antara Tuhan dan manusia, ada penjelasan, dan ada keputusan. Di sini jelas
bahwa proses ketaatan mengandaikan dialog antara pemimpin dan anggota (Suparno,
2007:169-172). Maka melihat dua perbedaan di atas seorang religius harus berani
mengambil keputusan bahwa kita taat bukan kepada kehendak pemimpin komunitas
melainkan kepada regula dan konstitusi di mana Allah menyatakan kehendak-Nya.
Taat kepada pimpinan komunitas sejauh kehendaknya sehaluan apa yang digariskan
oleh regula dan konstitusi tarekat (Ridick, 1987:179).
2.
Aneka
perbedaan
Komunitas dalam
hidup membiara pertama-tama adalah kelompok manusia. Namun mereka adalah
kelompok manusia yang mengkhususkan diri pada tujuan mulia, yakni menjadi
pelayan Tuhansecara khusus, yang memiliki misi mengantar manusia pada Allah. Hidup
mereka adalah hidup yang penuh cinta kasih dan persaudaraan (bdk. Kis.4:32), yang
mendasarkan model hidupnya pada hidup Yesus dan para murid (bdk. Yoh.
13:34-35). Bahkan ada yang mengatakan bahwa hidup membiara merupakan gambaran
hidup para malaikat di surga (nilai esktatologis).
Terlepas dari
pengertian singkat mengenai hidup membiara di atas, mereka bukanlahmanusia
super. Mereka sama dengan yang lainnya, yakni sebagai manusia yang memiliki
kelemahan (unsur duniawi). Sebagai manusia yang lemah mereka tetap memiliki
persoalan dan tantangan dalam hidup membiara.
Dalam hidup
membiara ada banyak anggota yang terpanggil dari berbagai daerah. setiap daerah tentu melahirkan manusia
dengan kekhasannya masing-masing. Di sinilah tantangan itu kerap ditemukan dan
dialami dalam hidup membiara ketika semuanya membaur menjadi satu. Adapun
kekhasan (perbedaan) yang kerap menjadi persoalan ialah watak dan kepribadian
seorang religius, latar belakang keluarganya dan status sosial, kebudayaan dan
riwayat hidupnya, bahkan intelektualitas. Namun semua perbedaan itu disatukan
dalam proses pembinaan sehingga secara pelan tetapi pasti menjadi “harta” yang
melimpah bagi hidup membiara karena hidup mereka diperkaya dan dilengkapi oleh
satu sama lain.
3.
Komunitas
dalam komunitas
Persoalan lain
yang hadir dalam hidup berkomunitas ialah menyangkut pergaulan antar
anggotanya. Walaupun hidup membiara sudah dianugerahi “harta yang berharga”,
yang diperoleh dari tiap-tiap anggotanya, tetap saja kekayaannya melahirkan
sebuah persoalan baru, yakni komunitas dalam komunitas. Artinya, dalam sebuah
komunitas biara terdapat perkumpulan orang atau anggotanya yang tidak hanya
kerap didominasi oleh satu daerah tetapi juga dari berbagai daerah yang
memiliki kecocokan satu sama lain. Di sini akan terjadi politik balas budi dan
saling ketergantungan antar anggotanya.
Komunitas ini dikategorikan
bernada negatif karena kerap memunculkan masalah. Kepedulian terhadap anggota
lain yang tidak termasuk perkumpulan mereka kerap diabaikan. Jika terjadi
perselisihan, entah kecil atau besar, dengan anggota yang di luar kelompok
mereka, walaupun mereka salah, akan tetap mendapat dukungan dari kelompoknya
(akibat sikap saling ketergantungan dan politik balas budi). Sedangkan seorang
anggota yang benar tadi tidak mendapat dukungan. Akibatnya ia merasa kecewa dan
mulailah saling membangun tembok dalam sebuah komunitas. Akhirnya keretakan
dalam komunitas pun terjadi dan komunitas pun menjadi sakit (bdk. 1Kor.12
:14-27). Padahal, tujuan terdalam hidup berkomunitas ialah tumbuh dalam cinta,
yakni cinta kepada diri sendiri, kepada Allah dan kepada sesama (KOPTARI, 2008
: 27).
4.
Individualis
Masalah berikut
ini ada kemungkinan salah satu akar terjadinya dari komunitas yang sakit. Ketika
keretakan mulai terjadi dalam komunitas, seorang religius mulai menghindar,
menarik diri dari yang lain, karena merasa dikecewakan, marah atau sakit
hati.Akibatnya orang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa peduli dengan yang
lainnya (egoisme)(Ridick, 1987: 207). Di sisi lain ada kemungkinan seorang
religius terperangkap dalam permusuhan sehingga ia menjadi pribadi yang berjiwa
musuh (murung tak menentu, minder, terus merasa khawatir, merasa lebih “super” dan serba mengeluh) (Agudo, 1988
: 152-154).
C.
Tantangan
dari Luar (Ekstern)
Dulu mungkin tantangan
religius dari luar tidak begitu kentara karena waktu mereka banyak dihabiskan
di dalam biara. Sekarang zaman berubah dan tantangan begitu hebat menghantam
dan mengejar. Apalagi sekarang kita hidup di abad dunia modern yang penuh
dengan sekularisme, hedonisme dan konsumerisme. Hampir di seluruh dunia manusia
terjebak di dalamnya, tak terkecuali para religius. Ditambah lagi dengan
hadirnya internet yang menyediakan berbagai informasi:dari yang terjadi pada
masa lampau sampai yang up to date,
dari yang bermoral sampai amoral, dan seterusnya. Kehadiranfacebook, twitter, dan media komunikasi lainnya juga membuka
kesempatan untuk mencari Maria atau Yesus yang lain dan darinya berkesempatan juga
memupuk kekayaan sendiri.Efek dari perkembangan teknologi dapat menjadi
tantangan bagi ketiga kaul religius (kemurnian kemiskinan, dan ketaatan)saat
ini dan di masa mendatang (bdk. KWI, 1996 : 134-135).
D. Kesimpulan
benarbahwa hidup
membiara itu hidup dalam persaudaraan cinta kasih. Tidak salah jika orang
mengalamatkannya sebagai gambaran kehidupan di surga (nilai eskatologis). Itu
memang idealnya dan bahkan merupakan cita-cita yang harus diwujudkan (absolut).
Tetapi itu tidak mudah. Untuk mencapai bentuk kehidupan seperti itu butuh
proses yang berkesinambungan. Hidup membiara perlu dibangun tahap demi tahap,sebab
hidup membiara penuh dengan pergulatan yang terus berlangsung (banyak tantangannya).karena itu tidak salah kalau dikatakan
bahwa hidup membiara itu hidup penuh dengan konflik (positif). Namun konflik
yang terjadi harus disadarisebagai tahap atau proses menuju cita-cita hidup
membiara.Di sini segala sisi kegelapan hidup yang tersembunyi di hati kita
menjadi nyata kelihatan. Ketika mengalami kehilangan, konflik, dan “kematian” di
sini juga kebangkitan itu dialami. Singkatnya, sisi kehidupan seorang religius
yang gelap diubah menjadi terang dan diarahkan pada kehidupan yang penuh cinta
kasih (Nouwen dkk., 1998: 18-20). Tetapi proses ini akan terwujud jika setiap
anggota saling mendengarkan, terbuka, mampu menerima dirinya, mau meninggalkan
manusia lamanya, saling membangun dan saling menghargai tiap pribadi. Sikap ini
harus dipertahankan terus menerus. Dengan demikian hidup persaudaraan dalam
cinta kasih dengan sendirinya akan terwujud.
daftar pustaka
Agundo, Philomena. Aku Memilih Engkau. Yogyakarta:
Kanisius,1988.
KOPTARI. Membangun Komunitas Persaudaraan.Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
KWI. Vita
Consecrata. Terj. R. Hardawirjana, S.J. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1996.
Nouwen,
Henri J.M. dan Jean Vanier. Komunitas alternatif: Hidup Bersama Menebarkan Kasih.
Ed. Mgr. I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Why casinos are rigged - Hertzaman - The Herald
BalasHapusIn the UK, casino games are rigged and there https://septcasino.com/review/merit-casino/ is apr casino evidence of fraud, crime herzamanindir or 도레미시디 출장샵 disorder or wooricasinos.info an individual's involvement. There are also many